42. Painting

31.2K 3.4K 236
                                    

Lisa membasahi bibirnya yang kering sebelum melirik ke arah Mina yang duduk di sampingnya. Gadis itu kini sedang sibuk mengerjakan tugas yang diberikan guru mereka yang hari ini absen.

Semenjak mereka bertatap muka tadi pagi, Mina tidak mengeluarkan kalimat apapun untuknya. Lisa sudah menduga jika sahabatnya itu pasti marah karena dia tidak memberi kabar selama seminggu penuh.

"Kau marah padaku?" tanya Lisa yang akhirnya memberanikan diri untuk bersuara.

Mina tampak berhenti menulis, lalu menoleh kearah Lisa sejenak. Tak lama, dia kembali melanjutkan kegiatan sebelumnya.

"Ani." Jawab Mina singkat.

"Arraseo. Mianhae karena tak mengabarimu seminggu ini. Ponselku rusak dan aku harus mengikuti acara keluarga dadakan?" Walaupun Mina berkata tidak, tapi Lisa tetap akan menjelaskannya karena dia tahu sebenarnya Mina memang marah.

"Acara keluarga? Kau berbohong, Lalice." Gumam Mina dalam hati.

"Mina-ya, aku sudah menjelaskannya dan kau masih marah?" tanya Lisa kesal karena Mina kembali mendiaminya.

Tak lama, Lisa melihat sahabatnya itu menghela napas berat. Lalu menyunggingkan senyum tipis untuknya. Membuat Lisa senang karena Mina tak lagi marah.

"Aniya. Aku tak marah lagi." Ujar Mina berusaha menyingkirkan rasa sakit hatinya karena Lisa tidak jujur.

"Ah ya. Bagaimana pentas seninya waktu itu? Apakah lancar?" tanya Lisa berusaha mencari topik obrolan dengan sahabatnya. Lagipula dia sudah selesai mengerjakan tugas yang menurutnya begitu mudah. Tak memikirkan jika Mina masih memiliki banyak nomor yang harus diisi.

"Sedikit kacau. Kakakmu seharusnya tampil di hari kedua. Tapi dia tidak datang dan menghilang tanpa kabar." Jawab Mina sambil berusaha fokus mengerjakan tugasnya.

"Tampil? Tampil apa?" tanya Lisa bingung. Pasalnya Rosé bahkan kedua kakanya yang lain tidak membahas perihal penampilan Rosé di pentas seni sekolah.

"Kau tidak tahu? Setiap tahun memang Rosé akan bernyanyi di pentas seni hari kedua."

Mendengar ucapan Mina, bahu Lisa melemas. Merasa payah karena tidak tahu apapun mengenai kakaknya sendiri. Karena selama dia bersekolah, tak pernah sekalipun Lisa mengikuti atau menonton pentas seni.

Pada hari dimana pentas seni digelar, absen tidak akan berjalan dan Lisa memanfaatkannya untuk mencari pekerjaan tambahan.

"Setahuku dia sudah berlatih keras selama beberapa minggu. Awalnya aku juga bingung kenapa dia tidak datang. Padahal sudah bukan rahasia lagi jika dia suka bernyanyi. Bahkan, pasti kau tahu jika dia mendapat beasiswa sekolah seni di Amerika." Mina berujar lagi. Sama sekali tak melihat wajah Lisa yang berubah muram.

"Mina-ya. Kau bisa melihat pekerjaanku. Sebentar lagi bel istirahat berbunyi. Kau tak akan sempat meyelesaikannya. Aku keluar duluan, nde?" dengan hati yang bergemuruh, Lisa bergegas keluar dari kelasnya. Namun ketika langkahnya belum terlalu jauh, sebuah tangan mencekalnya hingga membuat Lisa terpaksa berhenti.

"Sudah kubilang. Tunggu aku dan jangan keluar dari kelas sendirian." Lisa mengenali suara itu. Suara kakaknya yang kini telah menarik tangannya menuju taman belakang sekolah.

Sesampainya disana, Rosé mendudukkan Lisa di sebuah bangku panjang. Lalu mulai menyiapkan bekal adiknya itu dan juga air mineral.

"Buka mulutmu." Perintah Rosé ketika dia hendak menyuapi sang adik.

"Aku bisa sendiri." Ujar Lisa ingin mengambil alih sendok yang di genggam Rosé, namun kakaknya itu melarang.

"Jangan membantah. Cukup buka mulutmu."

Hey, Lisa ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang