31. Forgive

40.5K 3.7K 224
                                    

Dia menangis sendirian ditemani temaram lampu tidur. Entah kemana semua orang dini hari kali ini. Tapi Lisa cukup bersyukur karena rasa sakitnya tidak akan menyebabkan kekhawatiran bagi orang lain.

Menangis, meremas selimutnya, menggeliat kesana kemari merasakan perutnya terkoyak hingga menjalar ke seluruh badan. Lisa tidak bisa membayangkah perasaan orang-orang tersayangnya jika menyaksikan kemalangannya kali ini.

"Gwenchana. Eommaku juga pernah merasakan rasa sakit ini. Tidak akan masalah untukku," ujar Lisa kemudian mengerang dengan keringat bercucuran. Berusaha menguatkan diri untuk tidak membutuhkan bantuan orang lain.

Dulu, ibunya bahkan merasakan sakit tanpa membaginya dengan orang lain. Merasakan sendiri, mengatasi sendiri, dan menguatkan diri sendiri. Lisa ingin menjadi seperti ibunya yang kuat, tanpa harus menerima tangisan pedih dari orang tersayangnya.

"Neo pabboya?" suara tajam itu membuat Lisa harus mengalihkan fokus dari rasa sakitnya. Memandang samar wajah Jennie yang terlihat marah. Apakah dia membuat kesalahan lagi hingga membuat Jennie marah?

"Appa membayar rumah sakit ini bukan untuk membiarkanmu kesakitan." Jennie hendak pergi, namun dengan tangan gemetaran Lisa menahannya.

"Unnie," Lisa berusaha mengatur napasnya yang memburu. Tersenyum tipis ketika Jennie kembali menatap kearahnya.

"Untuk kali ini... Biarkan aku menjadi adikmu yang kuat." Senyum Lisa tetap bertahan seperti itu, bahkan ketika menangkap air mata yang mengalir dari sudut mata Jennie.

"Kau benar-benar adik yang bodoh."

Senyum Lisa semakin mengembang, ketika Jennie memilih mengurungkan niat untuk memanggil dokter. Dan mendekat kearahnya lalu memberikan sebuah pelukan yang sedikit meredupkan ketakutan di hati Lisa.

.....

Ini sudah dua hari sejak Lisa keluar dari rumah sakit, namun rasa nyeri dari suntikan yang dia terima masih terasa. Memandang punggung tangannya yang tidak seindah dulu. Dimana disana kini terdapat banyak bekas tusukan jarum.

Lisa tertawa lirih. Sama sekali tidak pernah memimpikan hal ini. Dia terlalu takut dengan jarum, membuatnya tidak pernah berpikir akan bersahabat dengan benda itu.

Dia mengangkat tangannya ke atas. Memandang punggung tangan putih yang kini ternodai. Sampai sebuah tangan lain meraihnya, menurunkan lalu menggenggamnya erat.

"Makanlah yang banyak. Tanganmu sudah seperti tulang bergerak." Ujar Jisoo yang kini sedang mengemudikan mobilnya menuju sekolah Lisa.

"Bukankah Unnie pintar memasak? Buatkan aku sesuatu,"

Jisoo tampak berpikir. Lalu tersenyum cerah kearah adiknya yang kini memakai seragam sekolah lengkapnya.

"Apa yang kau suka?"

"Ramen?" tanya Lisa memamerkan deretan gigi rapihnya.

"Ya! Bahkan bocah sekolah dasar saja bisa membuatnya!" Lisa tertawa melihat wajah jengkel Jisoo. Salah satu mimpi lagi yang tidak pernah dia sangka. Dulu, Lisa sempat berpikir tak akan melihat ekspresi wajah Jisoo yang lain hingga akhir hayatnya.

"Baiklah. Bagaimana jika... Mie instan?"

"Kwon Lisa! Itu sama saja! Kau ingin aku turunkan di tengah jalan?" Lisa benar-benar melepas tawanya kala itu. Membuat Jisoo diam-diam tersenyum di tengah ekspresi wajahnya yang terlihat kesal.

"Tersenyumlah. Sekalipun kau lelah."

.....

"Jennie!" Gadis yang mulanya termenung itu seketika merasa begitu kaget karena teriakan seseorang yang menyebut namanya. Namun belum sempat dia membuka mulut untuk menjawab, seseorang yang ternyata Dosen itu berjalan cepat kearahnya. Meraih tangannya yang kini sudah berlumuran darah karena tak sadar sudah menggenggam bagian tajam pisau bedahnya.

Hey, Lisa ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang