Aona duduk termangu di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri yang balik memandangnya kosong. Lagi, perempuan itu merasa ada yang tidak beres dengan perasaannya.
Dia gila. Dia benar-benar gila! Kenapa dia menerima lamaran lelaki yang baru saja dia kenal? Kenapa dia mau menikahi Janu?
Dalam diam, Aona memarahi dirinya sendiri. Dia belum bisa meraba kepribadian si jenderal muda, jarang bertemu apalagi berkomunikasi. Lalu, KENAPA? Tentu saja cincin cantik yang sekarang tersemat dijarinya bukanlah alasan. Aona bahkan melupakan cincin itu setelah Janu melamarnya.
Aona mengusak rambutnya kesal, lalu merebahkan kepala ke atas meja rias. Pikirannya berputar lagi. Kali ini sisi lainnya yang berbicara, menjawab pertanyaannya sendiri.
Kenapa dia menerima Janu begitu saja? Tentu karena lelaki itu mempesona, perhatian dan punya kharisma yang kuat. Bukannya Aona tidak menyadari wajah tampan nan tegas milik Janu, atau seberapa kuat otot-otot di lengan pria itu. Dan ingat, Aona pernah memimpikan mereka berkeluarga beberapa waktu yang lalu. Jadi, ya, ada perasaan yang berbeda pada Janu.
Aona tiba-tiba merasa pipinya bersemu. Dia merasa malu pada seseorang yang saat ini mungkin sudah tertidur lelap. Maklum saja, sekarang sudah menjelang dini hari dan Aona mengalami insomnia gara-gara Janu.
"Ini memalukan." Aona mengeluh lirih pada dirinya sendiri. "Apa yang harus kulakukan?"
Membayangkan kalau besok dia bertemu Janu lagi dalam status yang berbeda membuat Aona salah tingkah. Dia merona lagi akibat imaginasinya sendiri. Dia harus bersikap bagaimana jika mereka bertemu?
"Argh! Aona! Kau konyol sekali!"
Aona berdiri kesal, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Wajahnya memerah lagi hingga membuatnya semakin frustasi. Perempuan itu memejamkan mata berusaha tidur Dia tidak ingin terlambat bekerja besok.
"Hmm, haruskah aku meminum obat tidur?" gumam Aona pada dirinya sendiri setelah gagal dalam usaha untuk beristirahat. Mengalihkan pikiran pun tidak banyak berguna. Menghela napas pasrah, Aona bergerak untuk membuka laci dan mencari sebutir obat tidur.
Kekhawatiran Aona menjadi sia-sia begitu pagi datang. Gara-gara obat tidur yang semalam dia konsumsi, Aona jadi bangun kesiangan. Tidak ada waktu untuk sarapan, apalagi memikirkan kecemasannya jika bertemu dengan Janu.
Laboratorium sudah sangat sibuk begitu Aona datang. Gadis itu menyeringai penuh rasa bersalah pada Johan yang harus menghandle pekerjaannya.
"Akhirnya, kau datang juga!" ucap Johan senewen.
"Maafkan aku. Aku bangun kesiangan," balas Aona meringis.
"Tidak ada waktu untuk itu. Aku sudah menyuruh mereka untuk melakukan penelitian tentang pengaruh obat pada virus ini. Aku serahkan sisanya padamu." Johan menyahut cepat, menepuk pelan lengan Aona sebelum bergegas pergi.
"Kalian sampai mana?" Aona bertanya pada Vivian.
"Kami sedang menyiapkan alat dan bahan untuk penelitian," jawab Vivian yang tengah sibuk menakar sesuatu di atas timbangan.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan memeriksa spesimen kita lebih dulu. Ada kabar dari pusat karantina?" tanya Aona lagi.
"Ada 20 orang lagi yang meninggal dan 39 orang positif terjangkit virus ini. Jenderal Janu menekankan supaya kita bergerak lebih cepat." Vivian mengernyitkan wajah, seolah Janu melakukan hal yang lebih buruk daripada bersikap tegas.
"Dia tadi kemari?" Aona menoleh dengan mata membelalak terkejut. Bulu kuduknya mendadak berdiri membayangkan lelaki itu.
"Benar. Beliau juga menanyakan anda, tapi kami tidak bisa menjawab. Anda bangun kesiangan?" Aona mengangguk, meringis kembali merasa bersalah. "Saya tidak pernah melihat anda di barak. Atau ada tempat istirahat selain di belakang laboratorium ini?" Vivian menoleh penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry The General
FanfictionAdalah sebuah ketidaksengajaan ketika suatu hari Euna Aona bertubrukan dengan seorang lelaki yang memakai seragam militer. Kopi yang ia beli tidak tumpah, hanya dompetnya yang jatuh ke lantai. "Saya minta maaf." Sosok berseragam militer itu berucap...