12. Hugged

3.5K 624 218
                                    

Yuhuuuuuu....
Makasih banyak buat komentar kalian kemarin ... 💜💜💜

Kalo ada typo atau sesuatu yang harus di revisi, komen aja yak 😘😘

###

Tak bisa disangkal, keadaan negara berubah semakin baik. Itulah yang Aona rasakan setelah keluar dari pekerjaannya di rumah Janu. Orang-orang mulai bisa keluar rumah meski tetap harus menjaga jarak aman. Berita mengenai ditemukannya vaksin yang efektif, disambut gembira oleh semua kalangan.

Aona tersenyum tipis melihat pemandangan yang ada di luar jendela apartemennya. Kota yang di tempatinya tidak lagi seperti kota mati. Dia senang mengenai hal itu, tapi juga kecewa pada dirinya sendiri. Kenapa dia tidak bisa bekerja lebih keras lagi tempo lalu? Mungkin, jika dia ikut berkontribusi dalam penemuan vaksin, maka dia akan merasa lebih senang.

Perhatian Aona teralih saat ponsel yang ada di meja berbunyi. Kening perempuan itu mengerut saat melihat nama Treya di layar.

"Ya?" ucap Aona saat menerima panggilan itu.

"Aona! Bagaimana flu mu? Sudah lebih baik?" Senyum Aona terulas lebih tulus kali ini.

"Ya. Aku baik-baik saja. Kau sendiri?" balas Aona tenang.

"Kau membuatku khawatir! Kau yakin, kau tidak terkena penyakit itu? Aku bisa mengantarmu untuk periksa di rumah sakit." Suara Treya yang terdengar tidak yakin di akhir kalimat membuat Aona tertawa. Pasti temannya itu masih takut untuk keluar rumah.

"Ya. Aku sudah sembuh sekarang. Kurasa, aku hanya kelelahan karena bekerja kemarin. Kau ada dirumah? Aku bisa ke sana dan membawakanmu sesuatu." Aona ganti menawarkan diri.

"Kau tidak keberatan? Kau harus membawa banyak makanan! Reno juga ada disini." balas Treya, terdengar menahan senang.

"Reno ada disana?" Aona membelalakkan matanya kaget. "Apa dia baik-baik saja?"

"Oh, kau mengkhawatirkanku? Datanglah kemari. Kau bisa memelukku selama yang kau mau!" suara seorang lelaki yang Aona kenal tiba-tiba saja menyahut.

"Reno!" seru Aona gembira. "Aku akan ke sana sekarang juga!"

Tempat tinggal Treya tidak lah terlalu jauh. Perempuan itu menggunakan cafenya sebagai tempat berlindung. Menurut Treya, cafe adalah tempat yang tepat karena mempunyai banyak stok cadangan makanan enak.

Cafe milik Treya masih belum dibuka untuk umum ketika Aona datang. Tapi, kedua temannya sudah duduk mengobrol di salah satu meja.

"Bagaimana kabar kalian berdua?" Aona bertanya setelah menutup pintu di belakangnya.

"Aona!" seru Treya bersemangat. Reno yang duduk dihadapan Treya mengembangkan senyum.

"Kalian sedang membicarakan apa?" tanya Aona lagi, menggeret satu kursi yang ada disamping Treya.

"Hanya berita yang sedang hangat." Treya mengibaskan tangannya santai. "Kau kemarin benar-benar flu, ya? Wajahmu masih agak pucat."

"Aona terkena penyakit itu?" sela Reno dengan mata membelalak terkejut.

"Tidak," bantah Aona sambil memutar bolamata. "Aku hanya kelelahan bekerja."

"Kau yakin? Kami bisa mengantarmu ke rumah sakit jika kau butuh."

Aona justru tertawa mendengar tawaran Reno. "Kau tau? Treya baru saja menanyakan hal itu juga padaku," kata perempuan itu saat melihat wajah bingung Reno. "Dan, tidak. Aku sudah sehat."

"Mana makanan yang kaubilang tadi?" Treya mengalihkan topik pembicaraan. Aona memberikan buah tangannya tanpa memandang Treya. Perempuan itu masih penasaran dengan Reno.

"Keluargaku tidak ada yang selamat, tapi mereka sempat menyuruhku menjauh dari keramaian sebelum aku sampai di desaku. Selama ini aku berusaha tetap hidup di hutan," ucap Reno saat Aona memintanya bercerita.

"Hutan? Yang ada diluar benteng besar itu?" tanya Aona, menunjuk benteng yang mengelilingi negara mereka. Konon katanya, hutan itu adalah wilayah negara yang tidak boleh kembangkan untuk menjadi paru-paru dunia. Reno mengangguk.

"Katanya, selama ini dia makan hewan buruan." Treya menyahuti. "Beruntunglah kita yang masih di beri makan oleh negara selama masa isolasi," lanjutnya.

"Oh, ya?" balas Aona kaget. Maklum, dia sama sekali tidak tau apa yang terjadi diluar rumah Janu selama ini.

"Ya. Karena kau tinggal di rumah jenderal itu, jadi mungkin kau tidak tau. Kami mendapat pembersihan aseptik dan makan tiga kali sehari. Jujur saja, itu sangat menyenangkan!" kata Treya yang puas dengan pelayanan pemerintah.

"Aona tidak tinggal di rumah?" Reno bertanya heran.

"Aku ada di tim riset obat sejak penyakit itu datang," jawab Aona pendek.

###

"Anda tidak ingin mendekat?" Janu melirik ke kursi depan saat Troy bersuara. Mereka ada di dalam mobil Janu yang terparkir di depan cafe Treya.

"Tidak," jawab Janu, kembali memperhatikan Aona yang sedang mengobrol seru dengan kedua temannya. "Ayo ke istana negara."

Troy mengangguk paham, memberi aba-aba pada sopir yang duduk disebelahnya untuk melajukan mobil. Janu larut dalam diam setelah itu.

###

Aona sampai di apartemennya setelah matahari tenggelam. Berbulan-bulan tidak mengobrol dengan teman membuatnya lupa waktu. Aona menghempaskan tubuh ke atas ranjang, teringat salah satu percakapan mereka tadi.

"Jenderal Janu? Aku bertemu dengannya saat masih di tengah hutan. Dia juga yang menyuruhku untuk datang kemari, mengatakan kalau keadaan di kota sudah semakin baik," ucap Reno saat mereka membicarakan pekerjaan Aona di rumah Janu.

Jadi lelaki itu masih hidup, batin Aona lemah. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak bertemu. Apakah Janu belum pulang dari tugasnya melacak para pemberontak?

Aona tidak mengharapkan datangnya kabar, tapi dia akan sangat senang jika tau lelaki itu baik-baik saja. Mereka masih bertunangan, bukan? Aona harap, Janu memberinya pemberitahuan jika lelaki itu lebih memilih untuk bersama Giana.

Sedih, lagi-lagi Aona merasakan hal itu. Dia masih kecewa pada dirinya sendiri, merasa minder setelah kena teguran keras dari Gia. Aona harap, mereka tidak akan pernah bertemu lagi.

Bel pintu yang berbunyi membuat Aona menyahut kebingungan. Siapa yang bertamu dalam kondisi seperti ini? Pikirnya. Dengan enggan, Aona bangkit dari ranjangnya untuk membukakan pintu.

Saat melihat si tamu, jantung perempuan itu mendadak melesak ke perut. Wajahnya memucat tidak percaya. Janu berdiri dengan wajah tenang, memperhatikan reaksi Aona.

"Kau tidak ingin mengajakku masuk?" tanya lelaki itu dengan nada yang halus. Aona berkedip, meneguk ludah dan sedikit berdeham.

"Silakan masuk," katanya, bergeser sedikit supaya Janu bisa masuk. "Kau mau masuk juga, Troy?"

Letnan yang ternyata berdiri dibelakang Janu itu hanya tersenyum, sepersekian detik sebelum tangan Aona di sentak masuk oleh Janu. Pintu apartemen perempuan itu juga ditutup tidak sopan oleh si jenderal.

"Itu sama sekali tidak sopan!" tegur Aona pada Janu.

Sayangnya lelaki itu tidak peduli, lebih memilih memeluk Aona erat. "Lebih tidak sopan lagi kalau kita bermesraan didepannya," bisik Janu pelan.

"Bermesraan?" ulang Aona tidak percaya.

"Kau tidak rindu padaku?" tukas Janu, membuat Aona diam. Perempuan itu jadi salah tingkah. Rindu pada Janu? Tentu saja!

Aona mengangkat kedua lengannya untuk melingkar di pinggang Janu. Dia juga menyusupkan wajah di bawah dagu lelaki itu. Rasanya sangat aman dan nyaman hingga Aona terisak sedikit. Dia akan bercerita pada Janu segalanya! Aona ingin lelaki itu mendengar keluhannya tentang Gia! Aona ingin menjadi kekanakkan, manja dan egois untuk sesaat saja.

###

Kalian sehat-sehat yaaa ....
Moga epidemi ini segera berakhir :"

Marry The GeneralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang