21. Relief

3.4K 582 213
                                    

Kalo ada typo, tolong komen dong biar bisa diperbaiki 🙏
Kemarin juga lupa nambahin pesan supaya hujatan ke Janu dibuat selembut mungkin wkwkwk...
Yang tanya, kenapa saya nggak bisa janji update; sibuk euy. Saya nggak bisa hidup cuma dengan nulis di wattpad :". Wattpad mah cuma untuk menyalurkan hobi :"

Saya akan usahakan update semampu saya :" plus kalo jumlah vote dan komennya menyenangkan hehee :"

###

Benteng Timur merupakan sebuah gedung yang cukup besar dan berdiri  jauh dari wilayan penduduk. Letaknya ditepi hutan negara membuat kesunyian yang mendominasi suasana.

Janu disambut oleh Troy begitu sampai. Mereka langsung menuju ke tempat dimana Gia dan pemimpin pemberontak di penjarakan. Mata Janu agak membelalak saat melihat rupa si pemimpin pemberontak. Lalu dia tertawa geli.

Pemimpin pemberontak dan Gia mendongak saat mendengar suara tawa Janu. Troy sama sekali bergeming di belakang Janu.

"Menarik. Ternyata kecurigaanku benar," komentar Janu sambil tersenyum. "Bagaimana kau bisa menangkapnya, Troy?" tanya Janu, menunjuk ke arah si pemimpin pemberontak.

"Treya memberi sedikit-banyak informasi, sir." Troy menjawab seperlunya.

"Ah, dia harus diberi penghargaan." Janu menyeringai. "Harusnya aku juga bertanya pada Aona mengenaimu, bukan?"

Pemimpin pemberontak itu meliriknya tajam. Dia tampak marah saat nama Treya dan Aona disebut.

"Sungguh sial Aona bisa bersamamu!" Pemimpin pemberontak itu memaki kasar pada Janu, membuat si jenderal berhenti tersenyum dan ekspresinya berubah datar.

"Memang," jawab Janu enteng. "Tapi setidaknya jauh lebih beruntung daripada jika dia bersamamu."

"Bajingan!" seru pemimpin pemberontak itu marah. Janu tertawa.

"Terimakasih padamu karena sudah menyebarkan virus itu hingga menyebabkan wabah besar. Jika bukan karena hal itu, aku tidak akan punya alasan untuk mendapatkan Aona." Janu menyeringai. Janu mengalihkan pandangannya pada Gia setelah pemimpin pemberontak itu terdiam.

Gia menatap marah padanya dalam diam. Airmata yang mengalir pelan membuat Janu teringat pada Aona, hanya saja penderitaan yang dia sebabkan pada kedua perempuan itu berbeda.

"Taukah kau? Andreas melarikan diri seperti pengecut setelah kebusukannya terbongkar," ucap Janu tanpa ekspresi. "Andai kau tidak mengatakan apapun tentang Aona pada Andreas, mungkin aku masih akan membiarkanmu hidup tenang."

Pemimpin pemberontak itu terkejut, ikut menatap Gia dengan pandangan bingung. "Apa urusannya Andreas dengan Aona?" tanyanya pada Janu.

"Bajingan itu berpikir akan menggunakan Aona untuk menghancurkanku," jawab Janu. "Cara yang akan dilakukan oleh pengecut sejati."

"Tidakkah kau juga memakaiku sebagai alat untuk menghancurkan Andreas?" sambar Gia cepat. Janu tertawa menghina.

"Sama sekali tidak. Jika memang itu yang akan kulakukan, harusnya kulakukan sejak dulu," balas Janu. "Kau disini karena kau mengusik Aona, Gia. Dan beraninya kau melaporkanku pada polisi sementara tunanganmulah yang memancingku?"

"Kau memang pantas mendapatkannya! Kau sakit jiwa, Janu!" seru Gia marah.

"Akan kutunjukkan padamu seberapa gilanya aku." Janu mendesis tajam menanggapi ucapan Gia.

"Apa kau tidak berpikir kalau orang-orang akan mencariku? Aku bukan rakyat biasa!" balas Gia lagi. Janu mengejek.

"Mereka tidak akan menemukanmu, bahkan jika kau sudah jadi bangkai sekalipun," ucap lelaki itu. "Tapi, sebelum itu aku ingin melihat kalian berdua bersenang-senang." Janu tersenyum licik kemudian menoleh ke arah Troy. "Siapkan aphrodisiak. Aku ingin tau reaksi Aona, Treya dan Andreas melihat video mesum sahabat dan tunangannya."

Troy menangguk, kemudian pergi dari sana. Gia dan si pemimpin pemberontak itu membelalakkan mata.

"TIDAK! JANU! JANGAN LAKUKAN ITU!" Gia berteriak ketakutan.

"Aku hanya menjadi orang gila seperti yang kau sebut, Gia. Lagipula, kurasa kau akan menikmatinya daripada yang kau duga. Pelacur!" cibir Janu sinis. "Disini aku sudah berbaik hati membuat kalian merasa senang sebelum kalian mati."

"Kau akan menyesal melakukan ini pada kami berdua," ucap pemimpin pemberontak tajam. Janu menyunggingkan senyum miring.

"Aku telah melakukan banyak dosa yang lebih hebat daripada ini, dan aku tidak menyesal. Kau sudah membunuh ratusan ribu orang diseluruh dunia, apa kau merasa menyesal?" balas Janu. "Reno, jangan pernah lupa kalau kau lah yang memulai semua lebih dulu. Aku hanya bertugas menghukum siapapun yang membuat kesalahan."

###

Saat Janu mengepak beberapa baju ke dalam tas, Aona sempat bingung kemana lelaki itu akan pergi. Janu juga tidak mengatakan apa-apa, melakukan segalanya dalam diam dan tanpa memandang Aona. Lelaki itu berusaha mengabaikan dan menghindarinya.

Rumah terasa semakin sepi, Aona juga tidak bisa banyak bergerak karena tubuhnya terasa nyeri. Setiap ingat perlakuan kasar Janu padanya, Aona selalu merasa lega karena lelaki itu tidak ada disisinya.

Biar bagaimana pun, Janu membuatnya trauma. Sikap kasar lelaki ketika marah tidak bisa Aona terima. Dan sekarang, setelah seminggu Janu pergi, luka-luka ditubuh Aona mulai tidak terlihat lagi.

Setiap hari ada seorang psikolog yang di utus Janu untuk membantu menyembuhkan trauma Aona, sementara lelaki itu menghilang tanpa kabar. Perasaan marah, kecewa dan tersakiti yang ditinggalkan Janu sempat membuat emosi Aona meledak-ledak selama beberapa hari.

"Apa yang akan anda lakukan jika jenderal Janu pulang hari ini." Psikolog yang dibayar Janu mengusap jemari perempuan itu lembut. Proses konsultasinya sudah berjalan hampir empat jam.

"Aku tidak tau," gumam Aona membalas lirih. Airmatanya kembali bergulir meski tidak sederas kemarin-kemarin.

"Anda masih merasa marah?" tanya sang psikolog.

"Aku tidak mau dia menyentuhku," jawab Aona jujur. "Aku masih butuh banyak waktu, kurasa. Sampai dia juga tidak lagi marah."

"Mungkin masalahnya menjadi jelas jika kalian berdua berbicara? Solusi yang lebih baik juga akan di dapat dengan komunikasi yang baik juga." saran psikolog itu lagi. Aona langsung menggelengkan kepala.

"Bukan itu. Tidak ada jalan keluar yang harus di bicarakan berdua. Hanya saja, kami berdua masih sama-sama marah pada satu dengan yang lain. Kurasa keadaan akan membaik jika kemarahan itu hilang," jawab Aona. "Janu tidak pernah melewati batas seperti ini padaku. Jadi kurasa, dia benar-benar marah atas apa yang aku lakukan."

Psikolog itu tersenyum.
"Anda memiliki pikirnan yang sangat positif. Saya kira itu akan membantu anda merasa lebih baik," katanya. "Hanya saja, jika jenderal Janu memang berbuat kesalahan, anda berhak untuk menegur atau marah padanya. Jangan ragu untuk mengungkapkan hal yang mengganggu anda. Saya yakin, jenderal Janu mendengar meski beliau hanya diam."

Aona mengangguk mengiyakan ucapan psikolog itu.
"Kalau begitu, kita akan bertemu besok lagi?" psikolog itu bersiap-siap pulang.

"Baiklah. Terimakasih untuk hari ini."

Aona mengantar sang psikolog sampai di luar rumah. Perempuan itu kemudian kembali ke kamar, merasa bosan karena tidak ada yang bisa dilakukan.

Aona melirik ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Dia ingin tau dimana atau bagaimana kabar Janu. Hanya saja, dia enggan menghubungi lelaki itu. Apakah Troy bersama Janu?

Aona menggigit bibir, ragu-ragu saat mencari nomor Troy di daftar pencarian. Janu memberinya ijin untuk menyimpan nomor Troy, berjaga-jaga jika terjadi sesuatu dan Janu tidak bisa dihubungi.

Aona menatap bimbang nomor Troy. Tidak ada hal mendesak, dia hanya ingin tau keberadaan suaminya, Aona mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Panggilan pertama tidak diangkat. Aona semakin ragu karenanya, takut kalau dia menganggu pekerjaan Troy. Perempuan itu memutuskan untuk mencoba sekali lagi. Jika Troy tidak menjawab, maka Aona akan menyerah.

Menunggu cukup lama, akhirnya panggilan telepon Aona di angkat. Hanya saja, yang menerima bukanlah Troy.

"Ya?" suara Janu terdengar datar.

Jantung Aona langsung melesak, terasa berhenti berdetak selama beberapa detik. Aona juga tidak berani bernapas sebelum memutuskan sambungan telepon secara sepihak.

###

Marry The GeneralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang