1. Pengecualian

7.1K 686 133
                                    

Segala aktifitas Euna Aona dimulai pukul enam pagi. Apartemen yang dihuninya sendiri memperluas ruang gerak dan menjaga privasinya dengan baik. Setelah selesai bersiap-siap, dokter muda itu segera melangkah keluar.

Seperti biasa, dia mampir ke sebuah cafe untuk membeli sarapan. Sepotong roti isi dan juga segelas kopi-susu.

"Apa hari ini kau pulang malam lagi, Aona?" Reno, barista di cafe itu bertanya.

"Aku tidak berencana lembur, tapi kalau ternyata rumah sakit masih membutuhkanku, aku akan tetap disana," jawab Aona, memberi senyum kecil sebagai pemanis.

"Kau ini benar-benar pekerja keras, ya? Kapan kau akan mulai berkencan?" Treya, karyawati di cafe itu menyahut dengan nada menggerutu. Aona tertawa kecil karenanya, tapi tidak menjawab.

"Setidaknya, aku masih bisa beristirahat saat akhir pekan," balas Aona tersenyum.

"Sungguh sangat disayangkan kalau perempuan muda, cantik dan pintar sepertimu kelak menjadi perawan tua. Berkencanlah, Aona!" Treya mengomel.

"Tidak! Jangan berkencan! Perempuan sepertimu adalah milik semua lelaki. Jika kau ada yang memiliki, kami semua akan patah hati," sahut Reno dengan wajah serius. Treya memukul lengannya kesal sementara Aona tertawa.

"Apa kau gila?"

"Lebih baik kalian berdua saja yang berkencan. Kalian tampak cocok!" komentar Aona tanpa lupa tersenyum.

"Aona, jujurlah. Kami seperti medan magnet yang berlawanan arah. Cocok darimana?" keluh Reno merengut.

"Benarkah? Dimataku, kalian tampak seperti sepasang sepatu." Aona tersenyum lagi sebelum pamit pergi.

Kesalahannya karena berjalan sambil memasukkan dompet ke dalam tas. Karena dia harus menunduk, perempuan itu sampai menabrak tubuh seseorang. Kopinya tidak tumpah, tapi dompetnya yang jatuh ke lantai.

Belum sempat Aona mendongak setelah memungut dompet, suara maskulin seorang pria terdengar.
"Maafkan saya," katanya datar.

Perempuan itu buru-buru menegakkan tubuh untuk membalas. "Maafkan saya juga. Saya tidak berhati-hati," katanya sambil tersenyum ramah.

Melirik sekilas, ternyata sosok yang ditabrak Aona adalah seorang militer. Baju cream yang penuh dengan badge membuat Aona sedikit mundur. Orang dihadapannya saat ini mungkin petugas militer biasa dan dia memiliki aura intimidasi yang kuat.

"Um, permisi!" dengan kepala tertundur, Aona melarikan diri dari sosok itu. Janu J.? Benarkah nama itu yang tadi terbordir di baju seragam militernya?

Ugh! Apapun itu, Aona merasa bersalah karena bersikap kurang sopan. Harusnya dia tadi berpamitan dengan benar!

Meski berpikiran seperti itu, toh Aona tidak menoleh apalagi kembali untuk mengoreksi sikapnya. Berhadapan dengan orang asing tadi sekali lagi, tampaknya bukan ide bagus. Terutama untuk kesehatan mentalnya. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengeluarkan aura intimidasi sekuat itu?

Aona berjalan cepat, ingin segera sampai di tempatnya bekerja. Sarapan yang dibelinya masih ditangan. Dia akan memakannya nanti begitu sampai di rumah sakit. Terserah jika nanti dia dimarahi oleh atasannya.

Merasa sudah berjalan cukup jauh, Aona melirik ke belakang. Dia depan cafe yang tadi disambanginya, beberapa anggota militer berjaga. Hal tersebut membuatnya berpikir, apakah ada orang penting yang tengah berkunjung?

Aona berhenti berjalan sejenak untuk memperhatikan. Untunglah dia tidak menunggu lama. Sosok orang penting yang dipikirkannya muncul. Aona terkejut saat si militer bernama Janu J. itu lah orangnya. Lelaki itu dijaga ketat oleh satu pasukan bersenjata, agaknya cukup disegani bila dibaca dari bahasa tubuh pasukan yang mengawal.

Aona menelengkan kepala ke satu arah untuk berpikir. Apakah sosok militer yang tadi dia tubruk memiliki tempat istimewa di negerinya?

Si Janu berjalan memutar, membuat pasukannya ikut bergerak. Hingga lelaki itu hendak naik ke atas mobil, dia berhenti untuk menoleh. Tepat ke tempat Aona memperhatikan.

###

Seperti biasa, kantor yang ditempatinya sepi dari manusia. Hanya dia dan beberapa berkas serta buku yang tersusun rapi. Lelaki yang kali ini memakai sweeter putih itu menatap jauh ke cakrawala. Entah apa yang dia pikirkan, tapi sorot matanya memancarkan kehampaan.

Matahari sebentar lagi tenggelam. Semburat jingga di ufuk barat terlihat megah jika dilihat dari ruang kerjanya di rumah. Siluet kehangatan yang dipancarkan membuat bibir Janu terangkat sedikit.

Perempuan tadi, yang di tabraknya di sebuah cafe, memiliki senyum seperti itu. Apakah ada saatnya dia terbenam juga?

"Euna Aona. Hm ...." lelaki itu bergumam tanpa suara.

Meski hanya dua kata yang diikuti gumaman, benak Janu menjebarakan segalanya tanpa orang lain perlu tau. Tentang bagaimana senyum seorang perempuan asing membuatnya menjadi pengecualian atas prinsip hidup yang dipegang teguh.

Dia baru saja memasuki dunia yang menomer duakan akal sehat. Dimana kewaspadaan kepada semua orang tidak berlaku lagi. Dimana penilaian terhadap bayangan hitam seseorang tampak semu. Dimana tiba-tiba kebahagian seorang gadis adalah sebuah prioritas. Bagaimana itu bisa terjadi hanya dengan sebuah senyum?

Semua pemikiran intelektualnya seperti di putar balikkan. Seolah dunia memang seindah buku dongeng, semua orang memiliki hati yang bersih dan setiap manusia memiliki kisah bahagia. Bagaimana bisa? Satu pengecualian teraneh yang menghantam seorang jenderal muda, Janu J.

Euna Aona. Euna Aona. Euna Aona.

Jika dia tidak segera mengenyahkan nama itu dari pikirannya, maka bisa dipastikan dia akan gila. Tugas yang lebih penting sudah menanti dan dia disini justru merasa picisan? Tunggu hingga alegi lain dalam hidupnya muncul.

Suara ketukan sepatu terdengar dari lorong sebelah kanan. Dihitung dari iramanya, Janu tau kalau itu adalah letnan yang bekerja untuk dia.

Pintu diketuk tiga kali, lalu terbuka setelah Janu bergumam pelan. Seorang lelaki masuk sambil membawa sebuah amplop.

"Beberapa bukti aktifitas terlarang di hutan bagian Utara sudah datang. Silakan dicek," kata lelaki yang bertubuh sedikit lebih pendek dari Janu tersebut. Rambut cokelat tebalnya dibelah tengah, tapi masih terlihat sangat tampan.

Janu mendekat, menerima amplop yang dibawa kemudian membukanya. Beberapa cetakan foto yang didapat dari pantauan udara terlihat. Ada lebih dari dua puluh lima orang sedang berlatih menembak, memanah dan lain-lain.

"Kirim beberapa pasukan ke sana lalu kepung. Pemberontak tidak mempunyai tempat di negeri ini," balas Janu datar.

"Baik!"

"Dan Troy, mundurkan pertemuan dengan pemimpin militer sampai minggu depan. Aku ingin istirahat sebentar," lanjutnya.

"Siap!"

"Jadwalkan cek kesehatanku besok. Di rumah sakit yang kemarin."

"Siap!"

Troy kemudian keluar setelah Janu mengibaskan sedikit tangannya, memberi sinyal kalau dia ingin Troy pergi. Selepas perginya si letnan, Janu memilih duduk di kursi kebesarannya, mengamati laporan yang baru saja Troy beri.

Para bedebah itu, yang tidak pernah puas akan apapun hanyalah seonggok kecil debu. Masalah yang bisa dia atasi hanya dalam waktu satu jam. Hanya saja, seberapa banyak pun dia membasmi, mereka selalu kembali dengan anggota yang baru.

Akarnya lah yang harus dia cabut. Bos besar. Tapi, siapa? Sudah tiga tahun teror ini berlangsung. Masyarakat awam belum menyadarinya. Jika kelompok itu berani menunjukkan eksistensi, maka akan terjadi gejolak hebat dengan pihak militer yang disalahkan.

###

Tebak cast:
1. Treya
2. Troy
3. Reno

Janu sama Aona nggak usah di tebak, karena aku yakin kalian sendiri udah tau wkwkwkk

Marry The GeneralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang