Hari itu, aku masih ingat sekali. Bukankah saat itu aku juga menduduki sofa yang sama, tiga belas tahun yang lalu. "Kak...!!!! Kakak lihat tidak dimana jasku?" Kalo urusan cucian, itulah bagian kakakku, jadi jangan heran kalau aku bertanya kepadanya tentang semua pakaianku, terkecuali pakaian dalam.
"Bukannya sudah kakak taruh di kamarmu, di kasurmu!" Suara itu, datang dari dapur, tak kalah kerasnya dengan suaraku. Aku yang masih memakai sepatu langsung bergegas berlari menuju kamarku, meskipun sepatuku serasa belum pas dikaki. Tidak ada. Bukanya dia bilang ada dikasur?
Aku masih ingat gambaran itu, sangat jelas, belum terkikis sedikitpun. Pagi itu memang pagi yang sibuk. papa dan mama kami memang jarang dirumah, mereka memiliki pekerjaan yang sangat penting untuk ditangani, mungkin lebih penting daripada kami, tapi itulah nasib kami, suka tidak suka kami harus terbiasa.
Lagipula kami cukup nyaman tinggal bertiga dirumah besar ini. Bergaya klasik, terbuat dari kayu berkualitas tinggi,terletak tepat dipinggir danau yang masih jernih, jauh dari hirup pikuk kota besar. Sejauh mata memandang hanya rumput hijau menghias. Dibagian belakang, tentu saja danau yang luas membentang dibungkus siluet perbukitan berwarna biru. Sungguh menyenangkan menghabiskan minggu pagi di belakang rumah sambil menanti matahari terbit dibalik perbukitan.
Jam menunjukan pukul 7.30 pagi. Kepanikan mulai meningkat, mengingat banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum acara wisuda, meskipun bisa kupastikan semua keperluhan sudah ada di dalam tasku. Mungkin ini karena efek Bibi Ami pulang kampung untuk melihat anaknya yang sakit atau mungkin juga ini hal yang wajar untuk orang yang belum pernah mengkuti acara wisuda.
Baiklah, kepanikan ini mulai beralasan, jasku belum ketemu juga, sementara perjalanan dari rumah ke sekolah memakan waktu 30 menit. Melupakan semua kelebihan rumah ini, aku sering betanya pada diriku sendiri kenapa ayah membangun rumah ditempat yang jauh dari segalanya.
Aku menyeka keringat, tepat waktu. Aku harus mengatur napasku dulu, tidak mudah melakukan ini, aku sudah berlatih seminggu penuh agar tidak mengecewakan. Tidak pernah aku mengira akulah yang harus memberikan pidato perpisahan di acara wisuda ini, dengan kata lain akulah lulusan terbaik tahun ini.
Pidato berjalan lancar, pasti tidak ada yang mengira beberapa menit sebelumnya aku harus mengalami kejadian paling menyeramkan dalam hidup.
"Dek!! Ini jasmu, ternyata masih ada di ruang cuci!" Dengan cepat aku mengambil dan memakai jasku. Kami sudah kehabisan waktu. Aku langsung berlari ke garasi diikuti kakakku. Tunggu sebentar, dimana sepeda motor kakak? Eh, dia naik mobil jeep ayah? "Ayo naik, katanya sudah terambat?" Kamu serius kak? Bukannya kamu belum lancar mengemudikan mobil? Aku menghela napas berat, ini pasti tidak akan berakhir baik, tapi daripada tidak sama sekali.
"Kak, memang perlu ya mengemudi segila ini, lihatlah hampir 120 km/jam!" "Katanya kamu hampir terlambat untuk pidato besarmu?!" Kenapa dia tersenyum seperti itu kearahku, apa maksudnya? Mencurigakan.
Sudah kuduga ini tidak akan berakhir baik. Baru beberapa menit kami masuk kota, sebuah mobil polisi mengejar kami, tapi tunggu, bukannya takut atau khawatir, kenapa ekspresinya seperti itu, senyum simpul itu, tidak sadarkah kalau ini berbahaya. "Kak! Bukankah seharusnya.." Kalimatku terpotong karena badanku terhempas kebelakang. Kakakku benar benar gila pagi ini, dia menginjak pedal gas lebih dalam, seolah menantang polisi untuk mengejarnya.
Tunggu, apa aku tidak salah lihat, dua mobil polisi mengejar. Ini pasti akan menjadi masalah besar. Kami sudah memasuki jalan protokol kota, kepadatan lalu lintas sudah mulai terasa, tapi kakakku tidak mengurangi kecepatan, dia malah asik banting kanan, banting kiri stir mobil. "Kak!. Ini berbahaya sekali!" Ujarku sedikit berteriak ngeri "Apa kamu takut adikku sayang? Ini seru sekali!" Wajah manis yang biasanya memukau banyak orang itu tampak mengesalkan pagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Danau Yang Menyimpan Kenangan
ActionKetika seseorang telah menempuh perjalanan yang sangat panjang, melelahkan, dan menyakitkan. Orang itu akan mulai mempertanyakan apa arti dari kehidupan ini, apa gunanya dia berjuang sampai sejauh ini dan apa yang dia perjuangkan benar benar sebandi...