BUMI DAN PASUKAN BARET MERAH

38 27 1
                                    

Menjadi buronan ternyata cukup menguras tenaga. Sudah saatnya aku tertangkap. Sudah tiga hari sejak pelarianku yang pertama. 24 jam terakhir aku sudah bepindah pulau lagi. Jika kalian liat di peta, pulau ini seperti huruf K.

Dengan siasat yang sama, dengan sengaja aku membocorkan sendiri posisiku, membuatku kembali akan berurusan dengan pasukan anti teror. Kudengar beberapa jam yang lalu, kepolisian telah meminta bantuan kepada seorang jendral dari angkatan darat, mereka berencana menangkapku dengan satuan elit mereka, komando pasukan baret merah.

Beberapa hari ini berita pengejaran kriminal mantan detasemen khusus menjadi trending topic. Baik di media TV maupun internet. Semua orang tiba tiba penasaran dan mencari tahu siapa sebenarnya seorang Alam. Mereka bisa mencari sesuka mereka, berpendapat sesuka mereka, dan menganggap sesuka mereka. Aku tidak peduli. Semua kebenaran tentang diriku sudah dihapus dari muka bumi. Kini hanyalah aku yang palsu yang mereka tahu.

Aku mengenal pasukan ini, mereka sangat ahli di segala medan, kuat dan tangguh. Tak ada yang akan meragukan kemampuan mereka. Baiklah teman teman, jika kalian datang untuk menangkapku, datanglah, aku tidak akan pergi kemanapun.

Mereka sudah mendekat, aku bisa merasakannya. Mereka dengan gerakan tak terdengar namun cepat telah berada di sekeliling dan mengepung gubuk ini. Disinilah aku, sebuah gubuk tengah sawah, mirip seperti rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan atapnya dari dedaunan entah apa, seperti dedaunan kelapa.

Kudengar ada seorang jurnalis dari tv swasta yang merekam penangkapan ini. Biarlah seluruh negeri mengenalku sebagai seorang kriminal tingkat tinggi. bukankah seorang pahlawan sejati itu tak perlu dikenang? Yah aku harus terbiasa.

Aku hanya memikirkan pandangan satu orang saja. Apakah setelah ini, dia akan tetap menganggapku sebagai pangerannya? Seorang yang selalu hebat dimatanya? Ataukah sebaliknya, menganggapku sebagai penjahat, kriminal tingkat tinggi seperti dunia memandangku?

Mereka mendekat, gerakan langkah kaki terdengar menghentak hentak dan taktis. Aku tidak peduli sedekat apa mereka. Aku tetap melanjutkan kegiatanku. Aku masih terduduk sambil membaca doa doa. “Dobrak!” Sayup kudengar perintah sang komandan untuk mendobrak pintu.

Tanpa menunggu komando dua kali, pasukan segera membuka pintu secara paksa, meskipun sebenarnya tidak aku kunci sama sekali. Gubuk ini hanya satu ruangan. Pasukan langsung menyerbu masuk, mereka kaget. Aku membelakangi mereka masih dengan posisi yang sama.  Aku mengahadap ke kanan, mengucapkan salam, lalu menghadap ke kiri, mengucap salam, dan selesai sudah.

“Angkat tangan atau kami tembak!” Kudengar teriakan dari salah seorang pasukan itu dan aku tidak peduli. Kalau berani mengancam, maka harus berani menembak. Aku mengadahkan tangan lalu memohon dan menyesal meminta ampun. Air mataku mengalir begitu saja. Entah apa yang terjadi kepada mereka, mereka semua diam, tidak ada usaha menghentikan kegiatanku dan jika jurnalis itu merekam kejadian ini, aku yakin, semua yang menonton beritanya akan terdiam.

Aku menyudahinya, mengusap muka dengan kedua telapak tanganku, bersyukur atas semuanya. Aku mengangkat tangan, tanda menyerah, aku masih terduduk. Beberapa orang mendekat, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Keadaan hening. Tanganku diborgol. Aku dibawa pergi untuk dipulangkan. Selesai sudah pelarianku selama tiga hari terakhir.

Jauh disana, aku berharap Faza tidak menangis melihatku. Aku tidak ingin membuatnya menangis untuk kedua kalinya. Aku sudah pernah menjadi lelaki paling beruntung di dunia karena telah memiliki hatimu dan juga menjadi lelaki paling bodoh karena meninggalkanmu. Aku tidak berharap kamu akan memaafkanku, aku juga tidak berharap kamu akan terus mengingatku, aku hanya berharap kamu akan selalu memberi izin bagiku untuk selalu mengingatmu.

“Apa yang terjadi padamu Alam?” Lamunanku terbuyarkan oleh panggilan itu. Aku menengok ke arah sumber suara. Bumi? “Aku tidak menyangka kamu akan berakhir seperti ini.” Aku hanya melihat seklias, ternyata benar. Aku kembali menatap kedepan, tidak berselera membahasnya.

Danau Yang Menyimpan Kenangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang