“Hantu Satu disini Hantu Utama, ganti!” Suara komandan terdengar di sebrang pegunungan, Ditempat yang aman dengan senapan mesin terpasang di setiap sudut. “Ganti Hantu Utama, disini Hantu satu, cek komunikasi selesai, terdengar jelas!” Kapten Hassan menjawab mantap.
Disinilah kami, Disalah satu gunung tertinggi di negeri ini, yang berbalut salju di puncak-puncaknya. Kami diterjunkan lima belas menit yang lalu, mendarat di kaki gunung. Misi kami sangat jelas. Intel mengatakan akan diadakan pertemuan antara seorang petinggi pemberontak dengan pemasok senjata mereka.
Tugas kami sederhana. Kami masuk, menghabisi petinggi dan pemasoknya dengan tepat, lalu keluar tanpa meninggalkan jejak. HVT (High Value Target) yang berarti misi ini tidak mengizinkan kegagalan.
Ketinggian gunung ini sekitar 4.800 meter diatas permukaan laut, yang berarti kami harus berjalan lebih dari delapan kilometer sebelum mencapai target yang dimaksud. Pertemuan diadakan empat hari lagi yang berarti kami harus berpacu dengan waktu.
Medan jelas tidak mudah, ditambah lagi setidaknya kami harus berada di tempat yang telah ditentukan beberapa jam sebelum pertemuan dimulai. Kami harus mengatur sudut tembak terlebih dahulu, menghitung jarak, kecepatan angin bahkan kelembapan udara sekalipun, ditambah kami harus mengisi tenaga agar dapat meninggalkan zona misi dengan cepat.
Perjalanan dimulai. Inilah alasan mereka menunjukku dan Kapten Hassan. Kamilah yang cocok untuk misi seperti ini. Kami bergerak dengan taktis dan cepat namun tetap waspada. Sesekali kami berhenti, melihat keadaan dan memantau sudut sudut pegunungan dengan scope perbesaran 32x.
Sejauh ini tak ada halangan yang berarti, cuaca juga cerah dan matahari bersinar terang di atas langit. Siang hari. Kami berhenti sejenak di sela bebatuan, makan siang. Sudah sembilan jam non stop kami berjalan. Kami masih mengenakan seragam standar dengan warna serupa bebatuan gunung.
“Hantu Utama, disini Hantu Satu, kami telah melewati Anggrek hitam, ulangi lagi kami telah melawati anggrek hitam.” Kapten Hassan menyampaikan posisi kami ke markas. Ada tiga titik di yang harus kami lewati sebelum tiba di titik terakhir (Edelweiss). Setiap titik di beri nama bunga. Anggrek hitam, Rafflesia, Cangkir Emas dan yang terakhir, Edelweiss. Disanalah kami akan berdiam diri menunggu target.
Tiga hari berlalu, kami telah memasuki medan salju juga telah berganti dengan ghillie –baju yang digunakan oleh penembak runduk dan pengintai. Juga kami telah melewati Cangkir Emas, tinggal beberapa kilometer lagi sampai ke Edelweiss.
“Kita beristirahat sebentar disini!” Ujar Kapten Hassan. Kami memutuskan beristirahat. Kami jelas lebih cepat daripada yang dijadwalkan. Kami berbincang ringan, membahas masalah pribadi, melupakan fakta bahwa kami sedang berada dalam misi rahasia.
“Bagaimana kabar anak kedua anda yang baru lahir pak?” Memang bukan hal yang mudah menjadi tentara, kami harus selalu siap ketika tugas memanggil. Keluarga? Itu urusan nomor dua. “Alhamdulillah baik. Kasihan sekali mereka, semua kelahirannya tidak ada yang aku tunggui.”
Kapten Abdul Jalil Hassan, seorang perwira yang sangat loyal pada negara. Tak perlu dipertanyakan lagi bukti pengabdiannya. Banyak misi yang telah beliau jalani, mulai dari yang beberapa minggu hingga satu tahun. Atasannya menghormatinya, bawahannya mencintainya. Dialah sosok panutan, contoh nyata seorang abdi negara sejati, kebanggan keluarga.Aku bertemu dengannya di akademi, dialah orang yang membuat semua prajurit yang tertidur bangun, dia juga yang membuat prajurit berlari lebih kencang dan lebih jauh. Tatap matanya tajam, rahangnya kuat, raut mukanya tegas. Dia adalah teman, guru juga bencana bagi prajurit-prajurit muda.
“Bagaimana dengamu Alam, apa kamu tidak ingin menikah?” Mendengar petanyaan itu, sontak aku tersedak, serangan telak. Aku jelas tidak pernah memikirkan tentang hal itu. “Belum terpikirkan pak.” Jawabku singkat mencoba menutupi efek intimidasi Kapten Hassan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Danau Yang Menyimpan Kenangan
ActionKetika seseorang telah menempuh perjalanan yang sangat panjang, melelahkan, dan menyakitkan. Orang itu akan mulai mempertanyakan apa arti dari kehidupan ini, apa gunanya dia berjuang sampai sejauh ini dan apa yang dia perjuangkan benar benar sebandi...