38. Penyesalan

3.2K 185 0
                                    

"penyesalan tidak akan pernah datang tepat waktu sebab penyesalan ada ketika kata terlambat sudah berbicara. "

~Author~

****

Hari ini tepat keberangkatan Lubna ke Palestina bersama dengan rombongan sukarelawan termasuk Ummul yang ikut.

Sekarang mereka ada di bandara ditemani dengan keluarga Lubna dan Ummul.

Uminya Lubna terus terusan mengeluarkan air matanya belum sanggup membiarkan anaknya pergi meninggalkannya.

"umi kumohon jangan menangis, Lubna tidak tenang jika meninggalkan umi dalam keadaan seperti ini. " ucap Lubna menenangkan. Uminya pun langsung berhambur ke pelukan Lubna.

"umi hanya sedih kamu meninggalkan umi sangat lama. Apalagi tempatnya sangat jauh hikss umi takut terjadi apa apa dengan kamu nak.. "

"Lubna kan perginya dengan niat baik umi, kalaupun misalnya Lubna ada apa apa kan ada Allah disamping Lubna. Semua apapun yang terjadi itu sudah takdir Lubna jadi jangan sedih yah umi. "

Uminya tambah meneteskan air mata melihat ketegaran hati putrinya ini, dari dulu sejak kecil ia dan abi begitu menjaga putrinya, bahkan mereka tidak pernah membiarkan putrinya jauh dari mereka. Sampai Lubna menikahi Arkhan, awalnya mereka merasa takut akan memberikan putrinya ke lelaki asing terlebih lagi pernikahan mereka tidak berdasarkan dengan cinta.

Namun ternyata Arkhan bukanlah lelaki tepat untuk Lubna, ia menggoreskan hati Lubna terlalu dalam hingga banyak orang yang mencemohnya. Namun apa?  Lubna tidak pernah mengeluh bahkan ia mengkhawatirkan keadaan Arkhan.

Lubna dari kecil sudah dididik untuk menjadi pribadi yang pemaaf dan selalu ikhlas jika mendapat musibah. Namun, karena keikhlasan nya itu secara tidak langsung ia menyakiti dirinya sendiri.

Terdengar suara dari pihak bandara yang mengumumkan keberangkatan para penumpang ke Palestina 10 menit lagi. Lubna pun menatap uminya lalu mengusap sisa sisa air mata uminya.

"Doain Lubna yah supaya Lubna baik baik saja dan pulang dengan selamat. " ucap Lubna lalu memeluk uminya.

"jangan sampai sakit, kamu tidak bisa mengobati mereka jika sakit. " Lubna terkekeh mendengar uminya. "inshaa Allah umi. "

Lubna melepas pelukannya lalu tersenyum kepada uminya kemudian ia beralih ke abinya.
Abi mengelus kepala Lubna yang terlapisi hijab berwarna hitam. "jaga dirimu baik baik nak, ingat sekarang kamu tidak sendirian ada nyawa didalam perutmu. Selalu jaga kesehatan yah. Abi dan umi menunggumu pulang. " ucap abinya yang membuat Lubna seketika meneteskan air matanya.

Jujur ia paling berat meninggalkan abinya, bukan karena tidak menyayangi uminya namun ia lebih dekat dengan abinya. Dari dulu abinya lah yang selalu menjaganya ketika ia berada diluar. Selalu bersamanya ketika berpergian keluar namun sekarang ia harus meninggalkan abinya.

Sungguh setiap ia melihat abinya memberikan nasehat kepadanya atau menyemangatinya, air matanya selalu menetes.  Wajah abinya selalu memberikannya ketenangan, ia pasti akan sangat rindu dengan abinya ini.

Lubna menganggukkan kepalanya seperti anak kecil ketika sedang dinasehati. Iapun berlalu menuju kakaknya yang sedari tadi menundukkan kepalanya.

"kak.. " panggil Lubna namun Kaffah tidak menjawabnya. Ia pun menghela napas karena mengerti dengan perasaan kakaknya ini. Ia kemudian memeluk erat kakaknya.

"Lubna akan rindu sama kakak" ucapnya. Kaffah tidak merespon namun tangannya bergerak mengelus punggung adiknya. "Lubna boleh minta tolong sama kakak? " tanya Lubna.

Menanti Takdir (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang