14. Kamar Hotel

3.3K 175 11
                                    

"kita sama-sama masih belajar setidaknya kita harus terbiasa bersama."

Arkhan malik Ghossan

***

Saat ini lubna sedang berada di atas mobil bersama arkhan yang mengemudi. Arkhan sengaja untuk menyuruh manager nya tidak ikut agar ia bisa leluasa bersama istrinya.

Drrtt..

Lubna mengambil hpnya yang bergetar dalam tas. Ia melihat nama yang tertera memanggilnya dalam bentuk video call, ia pun mengangkatnya.

"assalamualaikum-" ucap lubna.

"LUBNAAAAAA" teriak si pemanggil, yang membuat lubna dan arkhan kaget mendengarnya.

"jawab salam dulu"

"heheh waalaikumsalam" ucap dua orang diseberang. "lubna kok kamu tiba-tiba nikah? Aku lihat beritanya dan langsung panggil ummul untuk menghubungimu. Kamu kenapa tidak beritahukan kami, kenapa tidak undang kami?" tanya wilda

Lubna hanya memijit keningnya mendengar cerocos dari sahabatnya. Ia sangat rindu bertemu dengan kedua sahabatnya ini.

"benar tuh, kamu udah lupa yah sama kami?" tanya ummul kesal.

"astagfirullah, mana mungkin aku melupakan kalian. Hanya saja aku selalu tidak sempat untuk mengabari, setidaknya kan sekarang kalian sudah tahu." ucap lubna.

"yah yah yah, tahu dari tv maksudmu. Tapi seriusan deh lubna, takdir itu gak ada yang tahu yah padahal dari dulu kamu ngefans banget sama sih arkhan sampai-sampai nyebut dia sebagai iman kha-"

"kabar kalian gimana?" potong lubna cepat, ia menoleh sedikit ke arkhan yang sibuk dengan kemudi stir nya. Ia malu arkhan mendengarnya untuk itu ia mengalihkan pembicaraan sahabatnya.

Padahal lubna sendiri tidak tahu kalau sedari tadi arkhan tersenyum dan tahu apa yang dimaksud sahabat istrinya itu.

"kabar kami baik, tapi tidak sebaik saat kamu masih disini" ucap wilda tanpa curiga lubna memotong ucapannya tadi.

"tapi lubna..."

"apa?"

"kamu tahu setelah pernikahan mu diberitakan, kak gibran jadi galau loh."

Lubna menoleh lagi ke arah arkhan yang tetap seperti tadi, ia ingin melihat reaksinya namun hanyalah pandangan lurus melihat jalan yang ia dapatkan.

"dia tadi nyamperin aku nanya tentang kebenarannya. Yah aku bilang aja mungkin itu benar, soalnya ada kamu juga disitu pas klarifikasi. Dia langsung pergi deh sudah ucap salam."

"ehm.. Yasudah karena kalian udah tahu. Kita lanjutin nanti yah." ucap lubna.

"yah gak asik, tapi kamu hutang penjelasan yah lubna" ucap wilda

"iya iya inshaa allah. Aku tutup yah assalamualaikum"

"waalaikumsalam"

Lubna kemudian menyimpan hpnya, sekarang dia tidak tahu harus buat apa. Jadilah sekarang ia hanya diam.

"siapa gibran?"

Lubna menoleh ke arah arkhan yang bertanya. "dia seniornya sahabat aku di kampus" ucap lubna tidak berbohong.

"kenapa?" tanya arkhan lagi

"ha?"

"kenapa dia bisa galau?"
"ehmm-" lubna masih ragu mau jujur atau tidak, tapi bukankah dia akan berdosa jika harus membohongi suaminya. Toh itu juga sudah masa lalunya. "dia pernah khitbah lubna, tapi gak lubna terima"

"kenapa?"

"yah gak kenapa-napa"

"karena imam khayalan mu itu?"

Deg..

Lubna kaget mendengarnya, apa arkhan tadi mendengar percakapan mereka? Tapi wilda tadi tidak meneruskannya karena ia memotongnya jadi bagaimana bisa dia tahu?.

"aku tahu, kamu tidak perlu tanya darimana aku tahu"

"m..mas marah?" tanya lubna hati-hati

Arkhan kemudian menepikan mobilnya lalu balik menatap lubna.
"untuk apa mas marah, semua orang berhak mencintai. Kita tidak bisa memaksakan hati kita. Lagipula itu masa lalumu sebelum kamu mengenal mas dan menjadi istriku. Jadi tidak ada alasan untuk aku harus marah." ucap arkhan mengelus puncak kepala lubna yang dilapisi hijab. Yang membuat lubna seketika merona.

***

Lubna ragu untuk masuk atau tidak, ia melihat arkhan yang dengan santainya masuk di kamar hotel yang pesannya tadi.

"kenapa tidak masuk?" tanya arkhan santai.

"ehmm.. Anu itu mas, kunci kamar aku mana?" tanya lubna malu.

"untuk apa kamu cari kunci kamar, kalau kamarnya sudah terbuka."

"ma..maksudnya?"

"masuklah lubna" ucap arkhan
Dengan langkah ragu lubna memasuki kamar itu. Ia melihat didalamnya sudah ada koper arkhan dan dirinya, seketika ia mulai berpikir. Tidak mungkin kan...

"yah ini kamarku dan kamarmu" ucap arkhan santai seakan-akan ia bisa membaca jalan pikiran lubna.

Deg..

Seharusnya ketika arkhan check in tadi, ia juga ikut memeriksanya.

"tapi mas-"

"kamu tidak ingin kan jadi istri yang berdosa karena tidak menuruti kata suami."

Seketika lubna terdiam, jelas ia tidak ingin jadi istri yang berdosa. Ia sangatlah tahu kalau kewajiban istri adalah menuruti kata suami kecuali jika suami mengajak ke arah yang tidak baik barulah ia bisa menolaknya. Namun ini...

"aku tidak akan berbuat apa-apa lubna, jangan takut. Jika itu yang memang kamu pikirkan"

"tidak, bukan begitu maksudku" jawab lubna malu, jujur ia tidak pernah berpikir ke hal itu. "aku hanya takut membuatmu tidak nyaman" sambungnya lagi.

"tidak akan" jawab arkhan tersenyum "kamu istri ku, walaupun kita sama-sama masih belajar setidaknya kita harus terbiasa bersama. Lagipula diluar banyak papparazi, kamu tidak mau kan suamimu ini mendapat skandal kalau istrinya tidak ingin sekamar dengannya" ucap arkhan menggoda lubna.

Sepertinya menggoda lubna akan menjadi hobinya batin arkhan.

Dan memang lubna dibuat malu dan merona mendengar arkhan yang selalu menggodanya, ia kemudian masuk lalu menyimpan tas nya di atas kasur lalu membuka koper menyiapkan pakaian arkhan.

"siap-siaplah mas, sudah mau shalat magrib" ucap lubna yang menyibukkan dirinya dengan pakaian arkhan.
Dan arkhan sadar itu, kalau saat ini lubna sedang menyembunyikan rasa malunya dengan mengalihkan pembicaraan.

***

Menanti Takdir (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang