Part 2

10.9K 465 5
                                    

# Reina Aprillia #

Lagu dari Avenged Sevenfold mengalun keras ditelingaku. Mencoba menghiraukan keramaian yang sedang terjadi di sekitarku dengan lagu bervolume keras yang ku play di handphoneku. Aku tak pernah suka keramaian dan segala sesuatu yang berisik. Karna itu akan selalu mengiangatkanku tentang keramaian akibat pertengkaran antara ayah dan ibu. Pertengkaran yang selalu berhasil mengakibatkan rasa sesak didadaku. Rasa sesak yang aku sendiripun tak pernah tau apa obatnya.

Desiran angin seakan menari-nari, membuat rasa nyaman mengalir lembut ke aliran darahku. Aku amat menyukai angin, karna mereka adalah satu-satunya temanku yang selalu menemaniku selama ini. Teman yang selalu menemaniku dalam suka dan duka. Entah sudah berapa banyak air mata dan teriakan kesal yang telah aku sampaikan pada mereka. Tapi mereka selalu menerimaku. Menerima semua cerita dan masalah yang selalu datang kepadaku.

Ekor mataku menangkap sosok yang aku kenal. Bukan, lebih tepatnya sosok yang beberapa hari lalu telah memaki-makiku. Membuat aku amat membenci gadis itu. Gadis yang entah berasal dari antah brantah atau apa lah itu yang tak tau berterima kasih.

"Kalo loe mau mati, jangan nyusahin orang. Kasian orang yang nantinya nabrak loe. Dia harus tanggung jawab, atas sesuatu yang sebenernya loe inginin." Bentakku setelah menyelamatkan dirinya dari pencobaan bunuh diri yang akan ia lakukan. Entah kenapa aku malah memilih membatunya dengan mengorbankan diriku sendiri.

"Kalo loe mau mati, tuh ada gedung tinggi. Loe loncat dari sana!!" Kataku lagi semakin kesal karna tatapannya padaku yang menjijikan. Amat sangat menjijikan. Aku sudah mengorbankan diriku sendiri hingga kakiku harus terlindas motor, tapi dia malah menatapku dengan pandangan tak sukanya. Orang ini benar-benar tak tau bagaimana caranya berterima kasih pada orang lain.

"Gue benci sama cowok. Semua sama aja. Termasuk loe!! Gue benci sama loe, gue benci sama semua sikap baik loe yang pura-pura, dan gue benci Cowok. Gue benci banget sama Cowok!! " teriaknya keras. Astaga, hal gila ini lagi. Lagi-lagi aku dikira seorang laki-laki. Apakah dia tuli, suaraku terlalu seperti perempuan untuk disebut laki-laki. Dan dia tak merasa itu.

"Satu hal yang perlu loe tau, gue seorang perempuan." Kataku sambil mengarahkan tangannya kearah dadaku. Wajahnya terlihat begitu kaget saat memegang bagian sensitifku. Bukan bermaksud tak sopan atau apapun itu. Tapi aku hanya ingin memberitahu kenyataan yang sebenarnya.

Dengan langkah pincang, kutinggalkan gadis itu. Entah apa yang ada didalam pikirannya, aku sendiri tak ingin tau. Karna aku tak pernah perduli tentang apapun yang orang katakan tentang diriku. Aku memang seperti ini, selalu berpenampilan layaknya laki-laki. Dan aku sudah terbiasa selalu dipandang hina oleh orang-orang disekitarku.

****-****-****-****

Hari ini aku dihadiahi sebuah gips dikakiku. Engkel kakiku sedikit bergeser akibat kejadian tadi siang. Ahhh, karna gadis itu aku harus memakai tongkat untuk membantuku berjalan. Gadis itu amat sangat menyebalkan. Dan aku tak pernah suka padanya.

"Rei, om harap kamu patuhin om ya. Pakai tongkat ini, kalo engga kaki kamu ga akan sembuh-sembuh." Kata om Bram sahabat ayah yang entah sejak kapan mereka saling kenal.

"Iya iya, aku ngerti. Lagian cuma sedikit geser aja kan om." Jawabku malas

"Hmmm anak ini!! Pokoknya inget kata om ya, kamu harus pakai tongkat terus buat bantu kamu berjalan......"

"Om!!" panggil seseorang memotong perkataan om Bram. Hahhh, gadis itu. Dia!!!!

"Kamu!!!" Kaget gadis itu sesampainya ditempat kami berdiri. Aku hanya diam seribu bahasa menahan kesal mengingat semua perlakuannya padaku. Rasa sakit dikakiku ini diakibatkan oleh gadis tak tau terima kasih yang sekarang berada dihadapanku. Andai aku tak menolongnya, mungkin aku tak perlu menggunakan tongkat ini.

"Kalian sudah saling kenal." Kata om Bram sumringah. Ahhh gadis ini memang tak sebaik pamannya.

"Mungkin dia salah orang om, aku ga kenal dia." Kataku datar

"Emm, maaf ya gara-gara aku kamu jadi kaya gini. Aku bener-bener......"

"Om, Rei pulang ya. Kakinya mulai ngilu dipake berdiri kelamaan." Sergaku memotong pembicaraan gadis tak tau terima kasih itu. Tanpa menghiraukan tatapan tak sukanya, aku berlalu pergi meninggalkan kedua orang yang amat sangat berbeda secara kepribadian.

"Oh jadi nama kamu Rei, aku Riana." Katanya setelah berhasil mengejarku. Lebih tepatnya dia hanya perlu beberapa langkah saja untuk menghampiriku. Sedangkan aku, harus bersusah payah berjalan.

"Maaf tentang semua yang udah aku lakuin ke kamu!!" Katanya dengan senyuman yang menghiasi wajahnya. Ini adalah kali pertama aku melihat senyumnya. Senyuman yang terlihat manis karna lesung pipi dikedua sisi pipinya. Senyuman itu berhasil menghipnotisku dan menghancurkan rasa kesalku padanya menjadi kepingan-kepingan kecil yang sudah mulai diterbangkan angin.

Seperti ada sengatan listrik yang memompa jantungku untuk berdetak lebih cepat saat melihat senyumnya. Jantung ini semakin melompat-lompat kegirangan saat tangannya menyentuh pundakku untuk membantuku berjalan. Entah perasaan apa ini, tapi aku tak kuasa menahan rasa ini. Rasa yang baru pertama kali kurasakan.

****-****-****-****

# Adriana Suhandi #

Aku bertemu lagi dengan laki-laki ahh bukan, namanya Rei dan dia seorang perempuan. Aku memang terlalu bodoh hingga tak bisa membedakan mana laki-laki dan perempuan.

Aku bertemu dengan Rei di rumah sakit tempat om Bram bertugas. Dan sejak saat itu aku jadi semakin mengenal Rei dengan semua sikap dinginnya. Baru kali ini aku bertemu dengan seorang perempuan dengan sifat sedingin ini. Banyak hal yang tak kusuka darinya. Dari sifat apatisnya yang tak peduli dengan sekitarnya, sifat cueknya, dan sifat anehnya yang selalu tersenyum ketika angin berhembus. Dia memang orang teraneh yang kukenal. Tapi karna sifat anehnya itu, aku bisa sedikit demi sedikit melupakan semua masalahku tentang Nino. Bersama angin aku menikmati indahnya hidup ini. Dan angin juga yang membantu aku membawa semua masalahku terbang menjauh dariku.

Dari kejauhan aku melihat Rei yang sedang duduk manis dibangku taman. Dengan kaos putih, dan celana pajang hitam membuatnya terlihat amat tampan. Hahhh, kenapa aku bisa memujinya tampan. Mana ada seorang perempuan yang tampan.

Dari kejauhan kuliat raut wajahnya yang terlihat sedih. Angin malam mulai berhembus, dan mereka seakan berbisik padaku bahwa Rei sedang amat sangat membutuhkan seseorang sekarang ini. Tapi apa yang harus aku lakukan!! Apakah aku harus menghampirinya dan memeluk tubuhnya erat!! Tapi, apa dia mau menerima kehadiranku disaat ia sedang sedih seperti ini?? Sedangkan selama ini saja dia seakan tak pernah memperdulikan kehadiranku.

Dengan perasaan masih ragu, kulangkahkan kakiku pelan kearah tempat Rei duduk. Sesampainya dihadapan Rei, aku makin ragu untuk bertanya apa padanya. Tapi tiba-tiba saja Rei mengangkat wajahnya dan menatapku dengan pandangan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Pandangan yang seakan sedang mencari-cari sesuatu. Entah apa yang ia cari, akupun tak mengerti. Tapi dari tatapan matanya, aku seakan ikut merasakan kesedihan yang sedang bergulat dihati dan pikirannya.

"Jangan tinggalin aku Riana, cuma kamu yang aku punya sekarang." Katanya memelukku erat dengan air mata yang mulai mengalir deras dari pelupuk matanya.

"Aku akan terus sama-sama kamu kok, aku janji." Kataku membalas pelukannya. Ternyata dibalik seorang Rei yang selalu terlihat dingin dan cuek ada hal yang tak pernah kumengerti. Aku akan terus bersama dengannya, dan akan terus menjaga Rei sampai kapanpun.

Rei masih menangis didalam pelukanku. Dan aku, aku hanya bisa mengelup rambut hitamnya lembut. Mencoba menenangkan Rei yang tak henti-hentinya menangis. Perlahan kuangkat wajah Rei untuk menghadap kearahku. Dari tatapan matanya, aku tau bahwa ia bertanya-tanya apa yang aku lakukan. Aku hanya ingin melihat matanya, aku hanya ingin dia tau bahwa disini ada diriku yang begitu peduli padanya. Peduli akan semua masalah yang sedang menimpahnya.

"Aku sayang kamu Rei, dan aku akan jagain kamu. Aku janji !!" Kataku pelan. Entah apa yang telah kukatakan tadi. Mulutku tak bisa kukendalikan hingga dia mengatakan hal segila itu pada Rei. Tapi, setelah aku mengatakan hal itu. Rei sedikit menyunggingkan senyumnya, dan kembali membenamkan wajahnya diperutku. Senyuman itu!! Apakah arti dari senyuman itu. Apakah aku sudah mengatakan hal yang salah??


Nb: makasih buat yang udah mau baca tulisan saya. Maaf jika ceritanya masih kuranng bagus.

Forbidden LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang