•indrawan pov•
Hari demi hari berlalu tanpa kusadari aku merasa kehilangan sesuatu. Giska! Aku mulai merindukannya dan menginginkannya.
Kondisi anita sudah cukup baik untuk kutinggal sebentar, aku ingin menemui giskaku. Bayangan saat dia keluar dr kamar RS itu masih jelas. Kakiku ingin mengejar dan memelukny namun jelas anita lah yg paling membutuhkanku saat itu.
Aku bahkan belum mengirim pesan padanya setelah kejadian itu, ah aku baru sadar bahwa ini sudah 2bulan sejak pertemuan terakhirku dengannya.
Aku mengiriminya pesan singkat namun gagal, aku mulai gelisah dan menelfonya. Isinya hanya mailbox singkat suaranya.
Kini aku mulai gelisah tak dapat memastikan keadaannya, aku merasa egois hanya memikirkan diriku tanpa peduli perasaannya. Bagaimana ini pikirku.
"Mas, pergilah kalau kau cemas"
"Hmmmm,,,"
"Its oke, aku bisa sendiri kali ini. Lagian sebentar lagi alia atau metta pasti akan datang"
"Aku pergi sebentar ya sayang"
Aku mengecup kening istriku dan langsung pergi ke apartement giska.
Aku mengetuk pintu apartemen namun tidak ada jawaban. Akhirnya aku membukanya dengan kunci cadangan yg kubawa.
Aku menemukan kondisi rumah yg sudah agak lama kosong. Aku mulai curiga, hatiku berdesir takut dengan perkiraanku sendiri.Aku berlari kesana kemari memastikan, namun nihil aku tak menemukan gadisku itu.
Aku melihat lembar kertas dibawah creditcard giska dan mulai kubaca perlahan.Hatiku runtuh membacanya, bak laki-laki berumur 20 tahun yg ditinggal kekasih tanpa tau kemana. Aku kalut dan bingung bagaimana aku akan menemukannya.
Dia meninggalakanku karena keegoisanku, keserakahanku tanpa peduli perasaannya.Aku memeras rambutku lalu mulai menelfon orang kepercayaanku
"Agung, pastikan kamu lacak dan cari dimana nona giska berada"
Aku menutup telepon dan kembali bingung.
Saat itu metta anakku menelfonku"Halo ya sayang"
"Apa....oke papa ke RS sekarang"
Hari yg sial bagiku, aku kehilangan canduku dan istriku collapse lagi hingga harus masuk RS. Aku segera pergi ke RS secepat yg aku bisa dan melihat metta aliya menangis tersedu didepan ruang ICU.
Dokter keluar menemui mereka dan menggelengkan kepala, mereka menangis keras dan saling menopang.Kakiku lemas, langkahku gontai. Aku tau aku harus siap dengan kemungkinan terburuk setiap saat, namun ternyata menerima kenyataan ini tak semudah yg kurencanakan. Aku menghampiri anak-anakku. Memeluknya erat agar kami saling menguatkan.
Mendung hitam mengiringi pemakaman anita dengan syahdu. Aku meneteskan air mata mengingat perjalanan kami selama 23 tahun serta ketegaran dan keikhlasannya dalam melayaniku.