"What did he do right? I guess that's wrong, because it's too much."
***
Sudah setahun sejak kepergian Reysa, Renald masih terus saja bersedih. Memikirkan bagaimana jika gadis itu masih bersamanya, laki-laki itu tidak akan pernah mengecewakannya lagi. Bahkan Renald akan selalu membuat gadis itu tersenyum sepanjang hari.
Pandangannya terus meredup dan mengabur ketika kedua matanya berkaca-kaca. Telinganya seperti mendengar suara gadis itu yang terus merasuk ingatannya, membuat laki-laki itu kembali dilanda rasa menyesal bukan main.
"Gue masih sayang sama lo, Reeeen. Lo harus tau itu."
Air mata Renald jatuh ke permukaan. Menitihkan air mata kesedihan yang mendalam, merasuki jiwa raga yang membuat batin laki-laki itu melemah. Setiap detiknya laki-laki itu terus bertanya tentang hal yang sama, mengapa harus seperti ini? Apa memang ini akhir dari seorang yang telah menyakiti perempuan sebaik Reysa?
Akhir dengan penyesalan yang sangat sakit tiada tara. Kepergiannya seolah-olah racun yang bisa membunuh Renald setiap harinya. Akal budi, raga, dan nyawa. Bahkan hampir semua seperti sudah mati rasa. Tidak bisa merasakan apapun selain kesedihan yang teramat lara.
Berkali-kali orang tua Renald mencoba menghiburnya, namun laki-laki itu sama sekali tidak peduli. Bahkan teman-temannya juga sudah sering sekali membujuk laki-laki itu agar melupakan kesedihannya, tapi hasilnya tetap sama. Renald tetap Renald, Renald dengan segala kesedihannya, Renald dengan keras kepalanya dan tidak peduli pada mereka.
"Jangan sedih, Ren."
Wajah Reysa tampak begitu nyata berdiri di hadapannya. Memegang setangkai bunga mawar berduri yang masih terlihat segar. Renald bangkit dari ranjang, berjalan mendekati sosok itu dengan senyum mengembang.
"Re-reysa." cicit laki-laki itu.
Reysa membalas senyuman laki-laki itu. Lalu berjalan mendekat, dan mulai berbisik. "Lo nggak boleh sedih, Ren."
Hati Renald menghangat, menghirup aroma tubuh Reysa yang masih sama seperti waktu pertama kali ia bertemu dengan gadis itu.
Sebelum Renald membalas, Reysa lebih dulu berucap. "Kalo lo sedih, gue juga ikut sedih."
Renald tersenyum senang. "Gue nggak sedih kok, Rey."
"Gimana? Semuanya baik, kan?"
Renald menggeleng lemah, menatap sorot cerah milik Reysa yang kini memandangnya. "Semuanya nggak baik-baik saja."
"Lo itu kaya bunga mawar, Ren. Keliatan cantik tapi bikin sakit."
Pandangan Renald berubah sendu. Memandang manik mata Reysa yang begitu tajam menyorot laki-laki itu.
"Lo itu punya duri yang bisa kapan aja ngegores pertahanan gue. Lo punya ucapan setajam belati yang kapan aja bisa buat runtuhin batin gue. Dan lo punya sesuatu yang bisa buat ambruk saat itu juga."
Hening. Hanya ada suara alunan musik klasik dari arah luar. Juga angin yang tiba-tiba masuk melalui pintu kaca yang terbuka lebar.
"Lo sama aja kaya orang-orang. Suka nyakitin."
Renald menggeleng, berusaha meyakinkan Reysa bahwa yang gadis itu ucapkan salah besar. "Enggak, Rey."
"Lo jahat, Ren."
"Bahkan lebih sakit denger ucapan kasar lo, dari pada ketusuk duri mawar."
Tangan Reysa naik, memperlihatkan tangannya yang mulai mengalirkan darah segar. Duri mawar itu tertancap begitu saja disana, membuat Renald spontan memegang tangan Reysa untuk melepaskan mawar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISPARAÎTRE [END]
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, DAN JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA!] NOTE : AWAS TYPO "Gue Renald. Kalo lo mau tau nama gue." "Gue nggak nanya. Gue juga nggak mau tau." *** Bertemu dengan laki-laki menjengkelkan sungguh sangat mengusik kehidupan damai...