"Why must it be like this? Can't he be happy and live in regret?"
****
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Reysa segera mengemasi alat tulisnya. Ia menoleh ke arah pintu, mendapati Veran yang baru saja datang. Menampilkan wajah tengil dan menyebalkan yang membuat Reysa merasa mual.
Gadis itu menggendong tasnya, ketika sudah selesai mengemasi semua. Ia melirik Veran yang tampak mengamatinya dengan wajah meremehkan. Reysa mendengus, menendang kaki Veran yang menjuntai, membuat laki-laki itu sedikit tersentak karena merasa akan jatuh dari atas meja.
"Anjing, lo!" umpat Veran merasa tidak terima.
Reysa terkekeh geli, melihat Regita juga tengah tertawa menertawakan sang kekasih. "Muka songong lo bikin gue mual."
Setelahnya Reysa beranjak dari kelas itu. Meninggalkan Regita dan Veran serta beberapa murid yang masih berada di sana. Ia berjalan menyusuri koridor yang tampak ramai oleh banyak murid. Netranya mengedar, memandang ke arah sekitar. Mengamati beberapa orang yang tengah memulai jam ekskul di lapangan.
Ia mempercepat langkahnya, merogoh saku seragamnya untuk mengambil ponsel. Ia mencari nama seseorang, dan segera menghubunginya. Setelahnya, ia lebih memilih berdiri di depan gerbang dengan beberapa siswa yang tengah menunggu jemputan.
Sebuah sepeda motor berhenti tepat di sebelahnya. Ia menoleh, mendapati Renald yang tengah melepas helm fullfacenya.
"Rey, gue anterin pulang."
Reysa menggeleng. "Nggak usah. Gue bisa pulang sendiri." tolak Reysa mentah-mentah.
Di depan gerbang sudah mulai sepi karena mereka sudah dijemput. Tinggal mereka berdua yang berada di sana.
Renald menghela napas. "Katanya kita masih bisa temenan. Berarti gue juga bisa nganterin lo, kan?"
Reysa diam. Memandang tali sepatu yang terlepas dari ikatan. Ia menggesekkan sepatu itu ke tanah. Mencoba mengabaikan Renald yang tengah menunggunya mengatakan 'iya'.
"Jangan mempersulit gue Rey, buat nyoba perbaikin semuanya."
Reysa mengepalkan satu tangannya di sisi tubuh. Ia menoleh, mendapati wajah putus asa milik Renald yang malah membuatnya semakin sakit. "Gue nggak pernah minta lo buat perbaiki semuanya."
Dari dulu ia selalu yakin dengan apa yang ia lakukan. Walaupun itu membuatnya merasa sakit hati, ia akan tetap lakukan.
"Rey... ayolah, bantu gue biar nggak ngerasa nyesel kaya mama."
Reysa berdecak. "Nggak usah bawa-bawa mama lo, Ren."
Renald meraih tangan Reysa, namun segera ditepis oleh gadis itu. "Oke. Tapi lo harus pulang sama gue."
Reysa akan menolak, tetapi suara teriakan dari sisi sana masuk ke pendengaran. Membuat ia refleks menoleh, bersamaan dengan Renald yang juga mendengarnya.
"ECHA!"
Mendapati wajah tampan milik Devan yang sudah melepas helmnya. Ia menoleh pada Renald, sebelum akhirnya beranjak dari sana. Ia mendekati Devan yang tengah menampilkan senyumnya.
"Kok yang jemput lo, Dev?" tanya Reysa. Membiarkan Devan memasangkan helm itu padanya, sembari menunggu laki-laki itu membalas.
"Gue yang maksa sih. Sekalian ngajak lo jalan-jalan."
Reysa tertawa. "Kesempatan bagus, ya?"
"Yoi." balas Devan disela tawanya.
Reysa menaiki motor milik Devan. Laki-laki itu mulai menarik gas meninggalkan area sekolah. Meninggalkan Renald yang tengah memandang kepergian keduanya. Rasanya sangat sakit ketika melihat pemandangan bahagia itu. Mengapa ia harus bertingkah seperti itu, dan membuatnya merasa menyesal akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISPARAÎTRE [END]
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, DAN JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA!] NOTE : AWAS TYPO "Gue Renald. Kalo lo mau tau nama gue." "Gue nggak nanya. Gue juga nggak mau tau." *** Bertemu dengan laki-laki menjengkelkan sungguh sangat mengusik kehidupan damai...