27. APOLOGIZE

317 49 1
                                    

"A sudden that made his heart pound."

****

Cukup khawatir saat memandangi wajah pucat milik Reysa yang sekarang tengah terbaring di atas ranjang. Namun, ia tidak pernah bosan menilik setiap inci dari wajah manis itu yang kini masih terpejam. Genggaman pada tangan gadis itu ia eratkan saat mengingat kembali apa yang tadi terjadi. 

Hatinya merasa tak enak saat mengingat bahwa gadis itu rela membahayakan diri hanya untuk dirinya. Sejahat itukah dirinya saat tak tahu gadis itu akan melakukan hal mengkhawatirkan seperti itu?

Cukup lama Renald terdiam seraya mengaburkan pandangannya,  sampai- sampai tak menyadari bahwa Reysa tengah menatapnya.

"Lo kangen banget ya sama tangan gue? Dari tadi dipegangin mulu," cicit Reysa terdengar lirih. Gadis itu terkekeh geli melihat Renald yang berubah gugup.

"Ha?"

Reysa bangkit untuk duduk tegak, membuat kepalanya terasa berdenyut nyeri karenanya. Gadis itu meringis pelan sembari menyentuh kepalanya yang terasa pening.

"Lo jangan bangun dulu," larang Renald, namun Reysa tak mengindahkannya.

Gadis itu menggeleng pelan, lantas tersenyum tipis. Kedua netranya menyusuri wajah khawatir Renald yang kini tercetak cukup jelas dimatanya. "Gue nggak pa-pa, Ren."

Mungkin itu cukup membuat rasa khawatir Renald hilang. Walau ia tahu, rasa karut laki-laki itu akan terus bertahan. Belum lama mengenal Renald, namun ia cukup paham. Yang pasti, ia mulai sedikit mengerti dengan laki-laki itu.

Renald menghela napas. Mengapa Reysa begitu keras kepala? "Reysa..."

Ia tau kalau laki-laki itu khawatir padanya. Tetapi ia sungguh tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil. "Nggak usah berlebihan, Ren. Gue nggak pa-pa."

Tidak butuh waktu untuk memahami sifat gadis itu. Hanya dengan melihatnya saja, ia sudah paham dan tau harus apa agar gadis itu tidak merasa kesal dengannya.

Renald hanya bisa menghela napas. Ia menggenggam jemari gadis itu, membuat Reysa mengangkat wajahnya. "Maaf Rey, kalo gue waktu itu ngomong kasar sama lo."

Reysa masih diam, membuat Renald melanjutkan ucapannya yang sempat terjeda. "Maaf juga karena gue, lo jadi diomongin sama satu sekolah."

Ia tidak pernah berpikir akan sampai seperti itu. Mereka sampai membuat Reysa marah karenanya. Ia seharusnya mendukung gadis itu, bukan malah membuat gadis itu menjadi orang yang paling bersalah.

Reysa sudah muak dengan hal ini. Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Renald membuat jantung laki-laki itu berdebar. Tatapan mereka bertemu sesaat, sebelum Reysa memalingkan wajahnya menatap arah lain.

Gadis itu kembali menatap Renald. "Bibir gue pucet nggak, Ren?"

Ia yakin, bibirnya memucat. Sesuatu yang paling tidak ia sukai sama sekali. Ia seperti mayat hidup yang diberi kehudupan untuk menjalani berbagai lika-liku kehidupan.

Renald mengerutkan keningnya. "Iya."

Reysa berdecak. Sudah ia duga bibirnya akan memucat karena insiden itu. "Pucet banget nggak?"

Renald mengangguk. "Lumayan sih. Mau gue merahin?"

Reysa diam mematung ketika Renald mengatakan hal itu. Terdengar begitu ambigu dan—

Apa Renald akan memerahkan bibirnya dengan menciumnya? "H-haa? G-gimana?" ia tidak bisa berpikir lagi. Otaknya tidak bisa bekerja dengan baik.

"Mau gue merahin?"

DISPARAÎTRE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang