"You have to be firm, let everything be clear."
***
Menjadi orang yang paling tahu tentang segala hal bukan pengalaman yang terbaik. Situasi dimana kita akan terlihat begitu bodoh oleh orang lain. Hal yang perlu ia lakukan adalah mencoba untuk tidak terlihat bodoh oleh orang lain.
Sorot cahaya dari lampu taman tampak remang-remang menerangi wajahnya. Hembusan angin tampak menyapu wajah dan juga menerbangkan beberapa helaian rambut. Tatapannya kosong mengarah pada jalanan yang cukup ramai oleh kendaraan.
Tidak ada yang ia inginkan selain hidup dengan semestinya tanpa ada gangguan dari siapapun itu. Masalalunya membuat ia tidak bisa hanya untuk sekedar melawan mereka yang mencoba mengusiknya. Ia sudah sangat lelah dengan mereka yang merusak kebahagiaannya.
"Udah lama?" tatapan gadis itu teralih pada seorang laki-laki yang tengah berdiri memandangnya. Ia hanya tersenyum tipis, meminta laki-laki itu untuk duduk.
Kelebihannya adalah bisa memaksakan diri untuk terlihat kuat di depan orang lain. Bisa memaksakan senyuman, walaupun begitu menyakitkan.
Renald, laki-laki itu mengangguk. Lantas duduk disamping gadis itu.
"Zeva." hanya itu yang bisa Reysa lontarkan untuk memecah keheningan diantara mereka.
Tatapan Renald beralih menatap gadis itu. Senyumnya ia lunturkan mendengan ucapan Reysa dengan ekspresi datar. Kedua netra gadis itu tampak lurus menatap jalanan yang cukup ramai malam ini.
"Kasih tau ke gue apa yang perlu gue tau." ia hanya ingin tahu tentang semuanya. Ia tidak mau dianggap perusak oleh orang lain karena menjadi kekasih Renald.
Reysa berdehem sejenak. "Dan nggak perlu kasih tau gue, kalo emang nggak ada yang perlu gue tau."
Reysa menunduk sembari terkekeh geli. "Jangan maksain diri lo buat jelasin apapun itu sama gue."
"Gue bisa cari tau itu semua sampe akar-akarnya." lanjut Reysa.
Laki-laki itu tampak mendengarkan setiap kalimat yang Reysa ucapkan. "Dan gue bakal benci banget kalo gue tau itu bukan dari lo sendiri."
Perlu Renald ketahui. Ia bukan gadis bodoh yang hanya diam ketika sesuatu mencoba mengusik pikirannya. Ia terlalu malas memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya ia pikirkan.
"Orang tua gue emang jodohin gue sama Zeva." mungkin ia akan tertawa sekencang-kencangnya ketika Renald mendekatinya hanya untuk kesenangan laki-laki itu. "Sampe gue muak banget sama mereka yang selalu maksa gue buat nerima perjodohan ini."
Kalimat itu seperti mengantarkan Reysa agar ia percaya pada laki-laki itu.
"Setiap hari mereka selalu bahas ini. Makanya gue lebih sering nongkrong dari pada di rumah."
Bagi mereka, rumah itu bagai istana yang selalu dirindukan. Tapi bagi Renald, itu seperti penjara baginya. "Mama nggak terlalu maksa gue buat nerima perjodohan ini. Tapi... papa gue."
Ia tidak tahu rasanya menjadi Renald yang dipaksa oleh orang tuanya itu seperti apa. Tapi ia sedikit mengerti bagaimana putus asanya Renald menghadapi kehidupan ini.
"Gue deketin lo bukan karena gue ngelampiasin apapun itu." ia memandang sepatunya yang tampak menapaki rumput taman. Ia menoleh pada Reysa sembari menatap dalam manik mata milik gadis itu. "Tapi... gue beneran suka sama lo."
Renald mengalihkan atensinya, kemudian tertawa geli. "Lo itu beda. Karena itu gue suka sama lo."
"Lo bohong, Ren."
KAMU SEDANG MEMBACA
DISPARAÎTRE [END]
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, DAN JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA!] NOTE : AWAS TYPO "Gue Renald. Kalo lo mau tau nama gue." "Gue nggak nanya. Gue juga nggak mau tau." *** Bertemu dengan laki-laki menjengkelkan sungguh sangat mengusik kehidupan damai...