37. HOT HEARTED

263 48 2
                                    

"Prestige leads to heartbreak. Even if you feel hurt yourself."

****

Sejujurnya, Reysa itu salah satu manusia yang tidak peduli apapun. Lebih mementingkan dirinya dan orang-orang yang menurutnya cukup penting bagi Reysa. Selebihnya acuh dan memilih masa bodoh terhadap sekitarnya.

Hanya saja, kadang Reys merasa kasihan pada mereka yang terlihat kesusahan. Dan dengan berat hati, ia pasti akan membantunya. Walaupun hatinya berkata tidak, tapi tubuhnya tidak bisa menolak.

Setelah adu cek-cok dengan Fina tadi dan memilih pergi, kini Reysa tengah duduk-duduk dikursi kantin bersama Regita yang selalu menemaninya. Adel dan Tania entah pergi ke mana. Sementara Veran, tengah berjalan ke arahnya dengan gaya tengilnya. Dibelakangnya ada Stella yang mengikuti laki-laki itu, membuat Regita berdecih kasar.

Reysa terkekeh pelan melihat Regita yang mulai gusar ditempatnya. Antara ingin beranjak dan meninggalkan Reysa, tetapi juga penasaran apa yang akan dilakukan oleh Veran dan Stella nantinya. Wajahnya jelas kentara sekali, membuat Reysa ingin sekali mengusili gadis itu.

"Baru aja pindah ke sini. Udah dapet gebetan aja lo, bang." ujar Reysa sembari menahan tawanya yang sebentar lagi akan meledak.

Veran terkekeh, lalu merangkul mesra bahu Stella. "Iya dong. Udah capek gue stuck sama satu orang yang nggak mau nerima cinta gue, makanya pindah haluan ke Stella. Iya, nggak?"

Mereka terlihat seperti pasangan yang begitu serasi dan mesra. Laki-laki itu beradu pandang dengan Stella sembari menaik turunkan kedua alisnya. "Yoi." sahut Stella.

Keduanya duduk seberang meja. Dengan Veran yang berada dihadapan Regita dan Stella dihadapan Reysa.

Stella merasa dongkol ketika Veran terus merangkulnya. Dengan senyuman yang tak pernah luntur dan penuh paksaan, Stella menendang sepatu Veran cukup keras. Membuat laki-laki itu mengaduh, namun tidak jadi karena ingat bahwa disini ada Regita. Veran hanya menunjukkan senyuman memaksa pada Stella yang memberi kode, bahwa ia tidak mau Veran terus merangkulnya.

Kalau Devan tahu, bisa-bisa Veran dihajar sampai mampus karena kelewatan. Perjanjian diawal hanya pura-pura pacaran, tidak sampai mesra-mesraan seperti ini. Ia juga mau-mau saja menuruti permintaan laki-laki kampret yang sudah ditolak Regita sampai empat puluh sembilan kali.

Antara kasihan dan ingin tertawa keras-keras, melihat nasib Veran yang sedari dulu selalu dicampakan oleh Regita. Padahal kalau mau mencari yang lain, Veran pasti akan mendapatkannya dengan sangat mudah. Wajah tampan, lumayan tajir, minusnya hanya kelakuan bangsat laki-laki itu.

"Harusnya kalian traktir kita dong. Masa jadian nggak bagi-bagi rejeki."

Ini adalah waktu yang pas untuk ia memoroti Veran. Selain pelit, Veran juga manusia yang tidak tahu diri. Sering meminta, tetapi tidak mau memberi.

Rejeki pala lo!

Andai Veran bisa menyuarakan itu dengan keras. Tapi apalah daya, Regita pasti akan curiga. Ia hanya memaksakan senyumnya pada Reysa, seolah-olah tidak setuju dengan permintaan Reysa tadi. Bisa-bisa diporoti sampai habis tak tersisa oleh gadis itu.

"Pesen dah sesuka lo."

Jelas hatinya tak rela saat mengatakan itu. Ia adalah orang yang selalu berhemat. Setiap hari pasti akan memalak semua orang agar ia bisa makan.

Reysa bangkit dari duduknya. Namun terhenti ketika Regita bersuara. "Gue ke kelas dulu, Cha, mau ngadem. Panas banget disini."

Lalu Regita beranjak dari kantin. Reysa masih diam sembari mencerna perkataan Regita tadi. Namun setelahnya, ia akhirnya paham. "Maksudnya panas itu cemburu, kan?"

Mereka terbengong-bengong memandang kepergian Regita. "Kayanya iya deh." sahut Stella yang masih belum paham tentang apa yang dikatakan gadis itu.

****

U

dara hari ini makin siang makin panas saja. Regita pikir, sebelum ia datang ke kantin, cuacanya masih biasa. Ia juga tidak kepanasan seperti sekarang.

Ia juga tidak mengerti mengapa ia harus pergi sekarang sebelum menghabiskan semua uang Veran. Harusnya ia tetap berada disana, karena memang ia tidak merasa cemburu ataupun apa. Tetapi hatinya menolak agar segera berlalu dan menjauh dari kantin.

"Udah capek gue stuck sama satu orang yang nggak mau nerima cinta gue, makanya pindah haluan ke Stella."

Regita memukul pelipisnya beberapa kali. Mengapa perkataan itu tiba-tiba saja melintas dipikirannya? Ia yakin, ini akibat cuaca yang cukup panas dan membuat otaknya berpikir banyak hal.

Akhirnya ia mendudukan diri di sebuah kursi panjang yang berada ditaman belakang. Setelah bergelut dengan pikirannya, akhirnya ia memutuskan untuk mencari udara segar di bawah pohon yang ada ditaman belakang. Udaranya memang bagus, lebih sejuk dan sedikit dingin. Membuat ia betah untuk berlama-lama nantinya.

"Udah capek gue stuck sama—"

Regita lagi-lagi mendengus. Ucapan Veran tadi terus saja menghantui pikirannya. Padahal ia sudah memikirkan hal lain, mengapa perkataan itu terus saja melintas? Bisa-bisa ia gila gara-gara ucapan tidak berguna dari Veran yang terus membayang dipikirannya.

Ponselnya berdering. Ia melirik tanpa minat layar yang menyala menampikan nama Bara. Dengan gerakan malas, ia mulai menggeser ikon hijau, lalu menempelkan ponsel itu di depan telinga.

"HALO!" ucap Regita tak santai. Membuat Bara refleks menjauhkan ponselnya.

"Santai, bro. Lo kenapa sih? Ada yang jahatin lo? Atau—"

"Bacot banget! Buruan dah, mau ngomong apaan?" Regita menyela ucapan Bara. Membuat laki-laki yang berada diseberang sana mengusap dadanya sabar.

"Nggak paham lagi dah gue, lo kenapa. Yang jelas nanti malem lo ke rumah gue. Ada yang mau gue omongin ke elo."

Regita kadang bingung, mengapa tidak langsung to the point saja agar ia tak repot-repot mendatangi laki-laki itu. Mengapa bukan Bara saja yang datang ke rumahnya, kan ini juga tidak penting baginya. Mengapa ia harus repot sendiri karena laki-laki satu itu.

"Ck! Sekarang aja kenapa sih ditelepon?! Gue rada males ke rumah lo, nanti banyak orang julid disana."

Ia sudah hafal siapa-siapa saja yang suka merecoki ketenangan hidupnya. Ada Galang dengan level julid dibawah rata-rata. Laki-laki penyayang dan ramah itu tidak terlalu membuat perasaanya gondok. Tapi cukup membuat ia mengusap dada.

Ada Gevan, salah satu laki-laki cuek yang juga turut menjahilinya. Mengeluarkan jurus mautnya, untuk mencoba memikat hatinya. Lalu, ada Devan selalu siap sedia mengeluarkan gombalan maut. Atau kalau tidak, laki-laki itu terus mengejeknya karena masih saja tidak mau menerima Veran.

Kalau diceritakan satu-satu, Regita tidak akan kuat. Betapa gregetnya gadis itu ketika mengingat kelakuan-kelakuan julid para manusia itu. Salah satu yang membuat ia malas untuk berkumpul dengan mereka ya itu.

Terdengar tawa renyah yang membuat Regita meremas udara gemas. Alih-alih memutuskan panggilannya sepihak, Regita memilih untuk menahan gejolak dalam hatinya.

"Enggak, elah. Dateng ya jam tujuh. Kalo nggak dateng gue santet beneran lo."

Baru juga Regita akan membalas ucapan laki-laki itu, Bara sudah memutus panggilannya secara sepihak. Betapa dongkolnya Regita ketika mendengar bunyi sambungan telepon telah berakhir. Tragisnya, ia belum sempat menolak sudah ditutup lebih dulu oleh laki-laki itu.

"Sialan!"

****

Tbc.

DISPARAÎTRE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang