16. CONFUSING CHOICE

402 56 0
                                    

"Faced with two choices is not the best choice."

***

Reysa mendengus geli ketika melihat raut wajah Renald yang tampak merasa bersalah. Ia tidak akan menuntut banyak hal agar laki-laki itu memilihnya.

"Lo nggak bisa kan atasin permintaan orang tua lo sendiri?" tanya Reysa disusul dengan kekehan geli dari mulutnya. Ia menenggak minuman mengandung soda yang sempat ia beli dari kantin.

"Jangan berlagak lo bisa atasin semuanya sebelum lo nyoba atasin semua itu."

"Gue cuman perlu waktu buat mereka percaya sama gue. Dan nggak akan pernah maksa gue apapun."

Menurut Reysa, waktu itu tidak menentukan sesuatu akan berubah. Tetapi usaha dan kerja keras yang akan membuat semuanya berbeda.

"Lupain aja gue." Reysa tersenyum. "Gue nggak papa, kok."

Renald menggeleng. "Gue nggak akan pernah lupain lo. Dan nggak akan mungkin biarin lo pergi."

"Kenapa nggak mungkin?" tanya Reysa. Gadis itu kembali menenggak minuman itu. "Semuanya bakalan terjadi, Ren. Setelah lo bener-bener jadi milik, Zeva."

Renald memutar tubuhnya menghadap gadis itu. "Reysa. Gue nggak akan--"

"Usaha lo bakal tetep sia-sia saat lo maksain diri lo buat nentang keinginan orang tua lo." tatapan Reysa berubah serius. "Apa susahnya sih nerima itu semua dan tinggalin gue?"

Renald tertawa. Ia tidak percaya dengan Reysa yang berkata seperti itu. "Oh, lo maunya gue nerima Zeva dan tinggalin lo. Gitu?"

"Lo bohong ya sama gue?" tanya Renald. "Katanya lo udah mulai nyaman sama gue. Tapi kenapa pas gue berjuang buat pertahanin ini semua, lo malah gini, Rey?"

"Lo bohong kan sama gue? Lo nggak bener-bener senyaman itu deket sama gue?"

"Lo permainin gue, Rey?"

"STOP IT, RENALD!" dada Reysa bergemuruh. Gadis itu mengepalkan tangannya.

Ia memandang Renald dengan perasaan yang tidak menentu. "Percuma, Ren." gadis itu menghela napas. "Penghalang kita itu bukan temen, ataupun musuh, tapi orang tua lo."

"Lo ngelawan mereka sama aja nggak berbakti sama mereka."

"Oh, ayolah Renald. Semuanya bakalan keliatan sia-sia."

Gadis itu hanya lelah menghadapi sesuatu yang tidak pasti itu. Hidupnya bukan tentang menahan emosi yang setiap saat akan meledak kapanpun. Hidupnya tentang bagimana ia bisa bahagia tanpa membuat orang lain merasa kecewa.

Mengapa menjadi serumit ini?

Renald menangkup wajah Reysa. "Lo yakin kan gue bisa atasin ini? Lo percaya kan, gue bisa tetep sama lo walaupun mereka nggak setuju."

Reysa lagi-lagi menghela napas. Ia menatap dalam iris mata milik Renald. "Gue punya sesuatu yang bisa buat lo bebas dari itu semua."

Raut wajah Renald tampak terkejut. Ia memandang bingung pada Reysa yang tidak melanjutkan ucapannya.

****

Perasaan bersalah memenuhi benak Reysa. Ia menapaki lantai rumahnya dengan perasaan campur aduk. Ia belum sempat meminta maaf pada Alex, setelah kejadian kemarin. Laki-laki itu pasti sangat marah dengannya.

Ia berdiri di depan pintu kamar Alex dengan perasaan bimbang. Ia bingung, antara harus masuk sekarang atau tidak. Ia terlalu malu untuk menemui laki-laki itu.

Namun jika ia tidak segera meminta maaf lada Alex, ia akan dihantui rasa berasalah terus menerus.

Ia menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya mengetuk pelan pintu kamar itu. "Kak, gue masuk, ya?"

Reysa memutar handle pintu, lalu mendorongnya pelan. Disana, Alex tengah memangku sebuah laptop dan juga beberapa map yang tergeletak diatas nakas.

Luka lebam yang dibuat olehnya tampak tercetak jelas diwajah Alex. Pasti rasanya begitu sakit, pikirnya.

Pandangan laki-laki itu teralih pada Reysa yang masih berada diambang pintu.

"Kenapa masih disitu? Masuk!" titah Alex yang kembali fokus pada laptopnya.

Reysa menghampiri laki-laki itu, dan duduk ditepi ranjang. Ia masih diam, bingung akan memulai dari mana.

"Soal kemarin, gue minta maaf ya, kak. Gue--"

"Apapun masalah lo itu. Nggak perlu lampiasin pake emosi, kan?" Alex mematikan laptopnya. Ia meletakkan benda itu pada nakas. Lantas menatap gadis itu.

"Mau cerita sesuatu ke gue?" tanya Alex sembari menatap gadis itu.

"Peluk gue dong, kak. Gue capek." pinta gadis itu. Ia menunduk dalam sembari menahan sesuatu yang begitu melukai batinnya.

Ia ingin berteriak kencang tentang isi hatinya. Agar semua orang tau tentang perasaannya sekarang. Agar mereka tahu apa yang tengah ia rasakan sampai-sampai ia bersikap seperti ini.

Alex mengerti. Ia menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Menyalurkan kehangatan dan juga kekuatan untuk gadis itu.

Laki-laki itu mengusap surai coklat tua milik gadis itu perlahan. Sesekali mengecup dahinya. Ia tidak tahu masalah apa yang mengganggu pikiran gadis itu. Sampai gadis itu seperti ini.

"Gue capek banget, kak, sama semuanya."

****

"Keputusan lo, apa?"

Kini tatapan Renald teralih. Ia menatap Aldi yang menunggunya memberi jawaban. "Gue nggak tau, Al."

"Harusnya dari awal lo tau, kalo akhirnya bakalan kaya gini." giliran Reno yang menyahut. "Lo nggak akan mungkin sebingung ini."

"Dari awal gue udah yakin. Kalo orang tua gue nggak akan jodohin gue kalo gue punya pacar."

"Tapi nyatanya enggak, kan?" sergah Aldi yang tampak geleng-geleng. "Harusnya lo mikir, cepat atau lambat, lo sendiri yang bakal ngecewain dia."

Aldi menghela napas. Selanjutnya, ia tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi. "Reysa gimana?" tanya Aldi, membuat Renald mengangkat wajahnya. Namun, tetap diam membisu.

"Tentuin apa yang perlu lo pilih. Mereka sama-sama butuh jawaban lo."

Renald terdiam. Ia teringat sesuatu yang dikatakan Reysa. Ia mengangkat wajahnya. "Ada cara buat batalin perjodohan gue, Al."

Aldi mengerutkan keningnya. "Apa?"

****

Tbc.

DISPARAÎTRE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang