"So, who should he trust in the future?"
***
Kelopak mata Reysa perlahan terbuka. Mendapati sebuah kamar bernuansa abu-abu yang hanya disinari oleh cahaya temaram lampu tidur. Ia berkedip beberapa kali untuk memfokuskan cahaya sekitar.
Gadis itu bangkit dari ranjang, membawa langkahnya keluar dari kamar yang entah siapa pemilik aslinya. Ia menuruni anak tangga menuju lantai dasar. Sayup-sayup ia mendengar beberapa orang tengah membicarakan sesuatu tentang masalah yang menimpa Reysa.
Ia melihat beberapa laki-laki dan juga satu perempuan tengah duduk di sofa ruang tengah, ditemani beberapa laptop dan komputer serta banyak cemilan diatas meja.
"Kalian lagi ngapain?" tanya Reysa sembari menyeimbangkan tubuhnya dan menahan rasa pening di kepalanya.
Mereka spontan menoleh, mendapati wajah kusut dan pucat milik Reysa. "Eh, Cha. Duduk sini." pinta Regita sembari menepuk sofa sebelahnya. Reysa mengangguk sekilas dan mengambil duduk disana.
"Mau makan apa? Biar gue pesenin?" tanya Frans yang masih khawatir dengan keadaan gadis itu. Alih-alih mengangguk dan mengatakan keinginan gadis itu, Reysa malahan menggeleng.
Gadis itu masih enggan untuk memakan sesuatu. Pikirannya masih bergerilya pada masalah yang baru saja menimpanya. Tentang ia yang bukan anak kandung mereka dan berakhir ia diterlantarkan.
"Gue boleh nanya sesuatu sama lo?" tanya Bara yang merasa tidak enak hati menodong banyak hal pada Reysa. Tapi kalau tidak diselesaikan dengan cepat, mereka akan semakin bergerak jauh. Reysa mengangguk sekilas, dan berdehem untuk membalas laki-laki itu.
Bara mulai memposisikan diri memandang serius Reysa. "Awal mula lo marahan sama Renald karena apa?" tanya Bara dengan sangat berhati-hati. Takut-takut malah membuat Reysa merasa tersinggung karena pertanyaannya.
Kembali diingatkan seperti itu membuat Reysa merasa ingin menangis dan berteriak kencang. Andai saja ia tidak bertemu Bimo saat menunggu Renald. Andai saja ia menolak pelukan dengan Bimo, pasti ini tidak akan pernah terjadi.
Reysa menghela napas sebelum akhirnya membuka suara. "Waktu itu gue ijin sama lo nggak bisa langsung pulang karena Renald mau jemput gue di minimarket. Karena gue ngerasa nggak nyaman berdiri di depan minimarket, akhirnya gue pergi dari sana dan nunggu Renald di depan toko yang udah tutup. Nggak lama setelah itu, Bimo dateng dan tiba-tiba meluk— gue."
Ia masih sangat ingat bagaimana Bimo menunjukkan tampang yang terlihat menyedihkan di hadapannya. Dan itu yang membuat ia sangat membenci laki-laki itu.
"Dia bilang sama gue, kalo orang tuanya cerai. Dan ngomong kalo dia nggak bisa terima kenyataannya. Karena gue ngerasa kasian, gue biarin—"
"Bentar-bentar." Bara menyela ucapan Reysa membuat gadis itu menghentikan ucapannya. "Seinget gue orang tua si bangsat udah cerai tiga minggu lebih. Mungkin pas Bimo datengin lo, itu udah dua minggu lebih."
Reysa termangu ditempat. Tipu muslihat dari wajah yang terlihat seperti malaikat memang begitu membunuh seluruh hidupnya. Ia tidak bisa membayangkan bahwa ia telah dibohongi oleh laki-laki itu.
"Harusnya kalo emang sedih, kenapa nggak datengin lo setelah sidangnya selesai? Nggak masuk akal kan kalo dia baru datengin Reysa dan nangis-nangis kaya gitu?" sahut Galang yang merasa tidak terima dengan tingkah menjengkelkan Bimo. Belum tahu saja laki-laki itu, bahwa mereka bisa melakukan apapun untuk membuat Bimo mampus dan menyesali perbuatannya.
"Bangsat emang tuh orang. Dari dulu ngajak perang mulu perasaan." Veran yang merasa sangat gemas, akhirnya memukul paha Devan menggunakan kepalan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISPARAÎTRE [END]
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, DAN JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA!] NOTE : AWAS TYPO "Gue Renald. Kalo lo mau tau nama gue." "Gue nggak nanya. Gue juga nggak mau tau." *** Bertemu dengan laki-laki menjengkelkan sungguh sangat mengusik kehidupan damai...