"The scariest nightmare is your leaving for a long time and forever."
***
Renald berjalan tertatih, melewati jalan setapak yang begitu gelap tanpa penerangan. Hanya ada cahaya rembulan yang menyorot remang-remang jalan bebatuan. Pandangannya menajam ketika melihat seseorang berjalan lebih dulu di depannya.
Tubuhnya terbalut oleh dress putih selutut, dengan rambut coklat tua yang terurai dengan bebas. Entah suara dari mana, Renald seperti mendengar derap langkah yang lama kelamaan semakin menjauh. Bayangan seseorang itu kian menghilang, menyisakan tempat kosong nan sunyi juga gelap yang begitu pekat.
Renald berlari, mengabaikan telapak kakinya yang berdarah karena tertusuk oleh batu yang runcing dan tajam. Sampai akhirnya, tubuh Renald menegang hebat ketika melihat sebuah truk menghantam tubuh seseorang yang sempat ia lihat tadi.
Tempat itu berubah, menjadi sebuah tempat dimana ia pernah melihat ini sebelumnya. Sepi dan sunyi, hanya ada suara truk yang masih menyala di sana, dan seminau dari truk itu sendiri.
Ia mendekati tubuh itu yang sudah bersimbah darah. Dress yang tadinya begitu putih, kini berubah menjadi merah. Renald berjongkok, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menyingkirkan rambut yang menutupi wajah sang korban.
Renald terkesiap, terduduk di atas aspal dengan jantung yang mulai berdebar dengan kencang. Ia kembali menegakkan tubuhnya, memandang tubuh yang terbaring itu dengan tatapan sedihnya.
"Re-reysa." cicit Renald cukup lirih. Tangannya terulur untuk mengusap pipi yang mulai berubah dingin.
Kelopak mata gadis itu bergerak, membuat jantung Renald kembali berdebar. "Reysa." panggil laki-laki itu untuk kedua kalinya.
Gadis itu duduk, memandang Renald yang tengah menatapnya khawatir. "Lo nggak boleh gini, Ren."
Suara lembut itu mulai masuk ke pendengaran Renald. Laki-laki itu tidak pernah menyangka masih bisa berbicara dengan gadis itu. Renald tersenyum, mengusap pipi Reysa dengan lembut.
"Lo nggak akan pergi, kan?" tanya Renald. Seolah-olah pertanyaan ini adalah sebuah keharusan bahwa Renald menginginkan gadis itu untuk tetap menetap di sini.
Reysa tersenyum, lalu menggeleng pelan. "Gue bakal tetep pergi."
Renald menggeleng, wajahnya berubah ketakutan memandang Reysa yang mulai bangkit dari aspal. Laki-laki itu ikut berdiri, mensejajarkan posisinya dengan gadis itu. "Lo nggak boleh pergi!"
Reysa menampilkan senyumnya, menggeleng pelan lalu mulai beranjak dari sana. Meninggakan Renald yang berteriak keras memanggil nama Reysa.
"ENGGAK, REYSA! LO NGGAK BOLEH PERGI!"
Tapi usaha Renald begitu sia-sia. Mengejar gadis itu tidak akan pernah dapat lagi. Bahkan tubuh gadis itu perlahan menghilang, menyisakan tempat yang kosong dan gelap yang begitu bergelintin.
"REYSA! LO NGGAK BOLEH PERGI. ENGGAK, LO NGGAK BOLEH PERGI!"
"REYSA!"
Keringat dingin membasahi dahi dan juga leher Renald. Shella datang, membawa segelas air putih untuk putranya. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Shella.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISPARAÎTRE [END]
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, DAN JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA!] NOTE : AWAS TYPO "Gue Renald. Kalo lo mau tau nama gue." "Gue nggak nanya. Gue juga nggak mau tau." *** Bertemu dengan laki-laki menjengkelkan sungguh sangat mengusik kehidupan damai...