part 5

197 12 0
                                    

dipanggil abah?, kenapa ya aku dipanggil, ada urusan apa lagi. masalah pondok? seingatku aku hanya disuruh menyelesaikan tanpa ada tugas tambahan. disaat aku sibuk memikirkan sambil menunggu didekat pintu ndalem, terdengar suara tawa. kutajamkan pendengaran lagi, abah terdengar sangat akrab mengobrol dengan seorang laki laki. ternyata abah ada tamu, tapi kenapa mangil aku?

"reneo nduk!"panggil abah membuyarkan lamunanku, aku segera mendengkul mendekati abah. kemudian kududuk didepan abah menunduk. "ndang diringkesi barang barangmu. ngesakne nak arra, wes ngenteni suwi." lanjut abah. jadi mas arra ngadu ke abah kalo aku gak mau pulang sama dia. kurang ajar banget dia.

"kulo mboten purun wangsul kalian mas arra, mas arra mboten mahrom kulo." tolakku dengan sopan.

"abi absor piyambak ingkang ngutus kulo." suara seorang laki laki yang sangat bisa kutebak bila dia adalah mas arra. besar sekali nyalinya berani bertemu dan mengadu dengan abah, apalagi menyanggah alasanku. katanya santri abi, tapi kok rasa sopannya sedikit sekali.

"kulo mboten puron bah, kulo mboten percados." sanggahku lagi tak mau kalah. abah nampak semakin bingung menghadapiku dengan mas arra. mas arrapun nampak diam semakin bingung. disaat situasi hening tiba tiba terdengar dering HP.

"ngapunten bah, abi absor telfon." ucap mas arra segera menerima telfon. tiba tiba jantungku berdebar. abi menelfon,jadi mas arra beneran. aku kangen sekali dengan abi, perlahan ku pandang mas arra yang mulai mengangkat telfon.

"assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." salam mas arra. "masih di pondoknya neng ulya.", "gak mau pulang sama saya, abi." adu mas arra yang membuatku kesal. 

"ndi HP ne le."pinta abah. mas arrapun segera menyerahkan HPnya. membuatku perasaanku tambah bercampur aduk. "yai, sampean ngomong dewe wae karo ulya." ucap abah menyerahkan HP kepadaku. perlahan kutatap abah, yang segera tersenyum mengangguk. tanganku  yang bergetar bergerak pelan menerima HP dari abah.

"assalamualaikum." salam yang terdengar sagat parau.

"waalaikumsalam."jawab abi. suara yang sangat kurindukan selama 12 tahun lebih. suara yang tak pernah kudengar selama 12 tahun. mataku mulai berkaca kaca, aku benar benar merindukan abi, kurindu pelukan hangat abi dan umi. "sayang, pulang ya." pinta abi yang membuat pertahananku seketika runtuh. dadaku mulai berguncang, dan air mataku mulai runtuh membasahi pipiku, sesenggukanku langsung terdengar memilukan. aku tak peduli ada abah didepanku, aku tak peduli siapapun akan bisa mendengar tangisku. aku sekarang hanya ingin menumpahkan semua rinduku yang telah bertumpuk tumpuk untuk kedua orang tuaku. mereka yang selalu ku doakan setiap selesai sholat, tanpa pernah bertemu selama 12 tahun.

"kok nangis??"tanya abi mulai khawatir. "jangan nangis sayang, maafin abi."pinta abi semakin khawatir mendengar  tangisku. aku tak kuasa untuk mengucap sepatah katapun untuk menanggapi obrolan abi. mulutku rasanya tak mau berhenti menangis. 

tiba tiba abah memegang kedua lenganku dan menariknya agar aku duduk didekatnya. kemudian beliau peluk bahuku dan meletakkan kepalaku di bahu beliau.

"seng legowo, ikhlas nduk." nasehat abah mengusap usap punggungku.

"sayang jangan nangis terus." pinta abi yang terdengar sangat khawatir. kuhapus air mataku dengan tanganku yang gemetar. kucoba menghentikan tangisku dengan mengatur nafasku. aku harus emngucap kan sesuatu, walapun sepatah katapun. agar abi tak semakin khawatir mendengar tangisanku.

"ulya kangen sama abi dan umi." ucapku yang langsung kembali menangis.

"sayang, pulang nak. pulang sama arrazi." pinta suara lembut yang juga kurindukan, sanat sangat kurindukan. aku yakin sekali itu pasti suara umiku. tangisku tambah menjadi. tanganku perlahan turun karena terasa lemas, walaupun hanya menahan sebuah HP. abah segera mengambil HP dari tanganku dan dikembalikan kepada mas arra. kemubian abah memelukku, membiarkan aku menumpahkan tangisku, menyelesaikan semua kesedihanku yang telah menumpuk.

si eneng brandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang