part 12

151 8 1
                                    

jam dinding kamar telah menunjukkan pukul 09.30 malam, tapi aku masih sibuk dengan fikiranku yang melayang memifirkan tentang laki laki yang kembali dalam kehidupanku. pertemuanku dengan alnord tadi ssungguh membuatku tak dapat berhenti berfikir. dilain sisi aku tak mau sampai umi dan abiku sedih kalo mengetahuinya, sungguh ini hal yang sangat memusingkan untukku. berada diantara dua masalah yang membuatku bingung haru s memilih yang mana.

"neng ulya." panggil mas arra yang telah duduk ditepi tempat duduk membuyarkan lamunanku. aku segera menoleh menatap mas arra. "neng, saya_"

"iya mas, gak papa kok." potongku yang sudah menebak apa yang diinginkan mas arra. pasti dia ingin izin untuk tidur dibawah, sampai hafal rasanya aku setiap malam dia selalu mengucapkan hal yang sama. perlahan mas arra menatapku tersenyum ragu.

"neng ulya beneran?"tanya mas arra.

"iya, mas arra bolehkok tidur dibawah." jawabku memandang mas arra datar, mas arra menatapku tak percaya. "lagian gak baikkan nolak permintaan suami terus. aku tau kok mas, bila cinta itu gak bisa dipaksa. jadi seberapa besar usahaku menumbuhkan cinta diantara kita pasti hasilnya nihil." jelasku menatapnya teresenyum simpul.

mas arra kembali menunduk.

"maafkan saya neng." pinta mas arra yang sepertinya menyesal.

"jangan merasa bersalah mas, aku gak papa kok. aku faham. dan soal kemaren, waktu aku nyium mas arra lupakan. aku kebawa emosi." setelah itu kuberikan bantal dan selimut untuk mas arra. "ini mas, biar nggak kedinginan."

"gak usah neng, neng ulya saja yang pakai. saya bisa pakai sarung." ucap mas arra segera bangkit sambil membawa bantal. mas arra segera menggelar sajadah dan duduk diatasnya. ia letakkan bantal dan segera berbaring.

"selamat malam, neng." ucap mas arra memejamkan mata.

aku menatap mas arra sedih, sebenarnya aku tak menginginkan ini semua. tapi bagaimana lagi, aku capek dengan ini semua, dengan sikap mas arra yang masih memposisikan aku sebagai enengnya. dia terlalu tawadhuk, sampai sampai aku sendiri yang telah berstatus sebagai istrinya bukan lagi putri kyainya tetap ia anggap. argh...., menyebalkan.

berusaha dengan tanpa hasil memanglah sangat melelahkan. kuhembuskan nafas dan segera berbaring terus memandang mas arra. aku hanya bisa menatap punggungnya karena dia membelakangiku, apa aku berdosa membiarkan suamiku sendiri tidur dibawah?, tapi itu kemauannya sendiri dan aku juga mempunyai batas kesabaran untuk selalu memaksanya tidur didekatku.

tapi aku juga tak tau mengapa dadaku terasa sakit melihat mas arra tidur dibawah, aku tak tau ini apa, tapi hampir mirip dengan kesedihan. kutatap tempat kosong disampingku, tempat yang biasanya dihuni oleh mas arra. mas arra yang biasanya selalu ku peluk saat tidur, yang  biasanya kumainkan brewoknya. kupaksa mataku untuk terlelap, tapi tak kunjung bisa. sama sekali aku belum bisa merasakan kantuk, aku masih asyik menatap punggung mas arra sampai tak kusadari setetes air mata turun diikuti yang lain. isakku terdengar lirih, alnord dan mas arra terus memenuhi pikiranku membuatku semakin gelisah. kututup tubuhku dengan selimut mencari ketenangan dan rasa kantuk yang akn membawaku sejenak melupakan masalah rumitku ini.

#

mas arra berdiri mematung setelah kuajukan keinginan pergi kerumah temanku. pandangannya lurus menatap kebawah, rambut gondrongnya nampak sangat berantakan, dan ekspresinyapun menurutku sangat sulit untuk diartikan. membuatku sedikit takut bila mendapat penolakan, walaupun aku juga sangat yakin bila mas arra tak akan menolak permintaanku ini. karena ada dan tidak adanya aku tidak akan berpengaruhh apapun pastinya untuk mas arra.

"gimana, mas?" tanyaku yang segera ingin mendapat jawaban.

mas arra tersenyum paksa sambil memegang dagunya. perlahan ia usap rambutnya dengankedua tangannya.

"saya punya hak apa untuk menolak permintaan neng ulya?" mas arra kembali menunduk, ucapannya barusan membuatku sedikit tersinggung. jadi selama ini dia menanggap aku apa, kalo menolak permintaanku saja dia gak punya hak untuk menolak. aku yang telah siap untuk berangkat kembali duduk kesal.

"mas arra suamiku,pergi dan tidaknya aku sekarang tergantung dengan suamiku." ucapku kesal.

mas arra menghembuskan nafasnya, ia bangkit dan segera mengenakan baju kokonya. aku menatapnya terus menunggu jawaban selanjutnya darinya.

"asal neng ulya seneng, lagian gak enakkan seharian dikamar terus." kata mas arra memakai songkoknya. aku tersenyum, dan segera bangkit. mas arra membuka pintu.

"beneran mas?" tanyaku tak percaya.

"saya boleh mengantar neng ulya?" tanya mas arra lembut.

langkahku terhenti, ini sangat gawat kalo mas arra nganterin. bagaimana kalo nanti dia tahu aku bukan sama teman tapi sama alnord. ya, alnord. aku sudah berfikir semaleman dan menyetujui dengan perkataan alnord yang mengatakan dunia ini hanyalah panggung sandiwara.

"apa boleh neng?" tanya mas arra lagi membuyarkan lamunanku.

"mas arra gak ada jadwal ngajar?, aku takut ngrepotin mas arra." dalihku.

"biar digantikan sama yang lain, saya gak merasa direpotin. udah kewajiban saya."

"ya udah." 

kami pun berjalan bersama keluar rumah. mas arra mengambil motor dan segera menyalakan mesinnnya. setelah usai aku segra naik dan reflek tanganku ingin bergerak memeluk perut mas arra, tapi segera kuurungkan karena teringat rasa cinta mas arra yang sama sekali tak ada untukku. lima menit berlalu mas arra tidak segera melajukan montornya, sampai aku agak risih dengan tatapan beberapa santri yang berlalu lalang.

"mas arra, ayo mas." tegurku yang hanya dijawab anggukan. montorpun segera melaju, dan aku dibuat kembali kesal oleh mas arra. bagai mana bisa, mas arra melajukan montornya sangat pelan sampai sampai becak yang sedang membawa penumpang ibu ibu yang gendut, bisa menyalip dengan mudah. mas arra sebenarnya kenapasi?, seingatku kemaren waktu bonceng aku di pengajian akbar lajunya gak sepelan ini.

"mas kok pelan banget sih?" tanyaku mulai kesal.

"saya takut neng ulya jatuh." jawab mas arra tersenyum. kuhembuskan nafasku kesal, membiarkan mas arra melajukan motornya sangat pelan. sesekali kuberi tahu arah jalan kepada masa arra.

"loh, bukannya ini masjid yang kemaren pengajian akbar?" tanya mas arra.

"iya, aku janjian sama temenku disini." jawabku.

mas arra menepikan montornya dan memarkirkannya di halaman masjid. aku segera turun dan menghadap mas arra.

"makasih ya mas. mas arra boleh pulang sekarang." ucapku memang sedikit mengusir mas arra.

"gak papa kok, neng. saya temenin sampai teman neng ulya dateng." kata mas arra, aduh.... kupejamkan mata bingung sambil mencari cara agar mas arra segera pulang. bisa gawat sekali bila mas arra bertemu dengan mas arra.

"aku bisa menunggu sendiri kok, lagian temenku sebentar lagi dateng." tolakku. "aku masuk kedalam masjid dulu mas, assalamualaikum." izinku segera masuk masjid tanpa mengharap mas arra menjawabnya.

segera ku masuk kedalam kamar mandi dan kututup pintu dengan rapat. aku menunduk merasa penuh bersalah, suamiku atau pacarku yang harus aku pilih. kenapa sih aku bisa terjebak dengan pernikahan dengan mas arra, padahal aku sangat mencintai alnord. dan sebenarnya aku ingin alnord segera menikahiku, tapi kenyataan pahit yang kuterima adalah aku telah menjadi istri seorang. 

ya kalo perempuan boleh menikah lebih dari satu, tapi kenyataannya. laki lakilah yang boleh menikah lebih dari satu. kuhembuskan nafas dan menyandar tembok, guna menstabilkan perasaanku.

si eneng brandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang