part 47

97 7 4
                                    

Mbak farah dari tadi masih berada dikamarku, merawatku yang masih lemas. Menungguku tidur, padahal aku sudah menyuruhnya kembali ke pondok. Tapi dia masih ingin menemaniku, sampai aku terbangun dari tidur jam tiga sore, mbak farah juga masih disampingku sambil murojaah.

"mbak farah belum balik kepondok?" tanyaku menghentikan hafalan mbak farah. Mbak farah tersenyum menatapku sambil mengusap rambutku.

"gantinya, karena mbak gak bisa njenguk kamu dirumah sakit." kata mbak farah.

"ayo sholat mbak, aku juga pengen murojaah setelah sholat." ajakku. Mbak farah tersenyum dan segera membantuku bangkit kemudian menuntuntu masuk kamar mandi, memang aku sudah keluar dari rumah sakit tapi aku masih merasa sangat lemas.

Setelah kami selesai sholat ashar berjamaah, seperti kataku. Aku murojaah disemak oleh mbak farah. Kucoba menenangkan dan menyejukkan hatiku dengan kalam Allah yang agung ini.

"assalamualaikum." suara salam dibarengi ketukan pintu terdengar dari dalam, membuatku dan mbak farah reflek menoleh.

"waalaikumussalam." jawabku pelan. "siapa ya mbak? Biasanya umi sama abi langsung masuk?" tanyaku bingung. Karena siapa lagi yang kekamarku kalau bukan beliau beliau.

"mbak lihat bentar ya dek." pamit mbak farah segera bangkit dan membuka pintu. "loh kalian?" ucap mbak farah seperti agak terkejut. Aku menoleh pelan.

"siapa mbak?" tanyaku lirih.

"neng ulya..., ini yeha santri tersayang neng ulya..." cerocos yeha menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Aku sedikit terkejut olehnya, apalagi setelahnya dana juga ikut menampakkan diri sambil tersenyum manis. Seperti tak ada masalah sama sekali.

Aku tersenyum, yeha langsung menerobos masuk melewati mbak farah. Sedangkan dana, mengucapkan permisi dulu kepada mbak farah dan segera menyusul dana.

"gimana kabar neng ulya? Neng baik baik aja kan? Saya khawatir banget sama neng ulya..." cerocos yeha yang memang mulutnya seperti ibu ibu gosip.

"yeha, jangan asal nyerocos. Dek ulya bisa sakit lagi kalo kamu kayak gitu." gerutu mbak farah kembali naik keranjang dan duduk disampingku.

"maaf bu farah, habisnya saya kangen banget sama neng ulya." sanggah dana tersenyum kikuk sambil menggaruk garuk kepalanya.

"tadi kan sudah aku bilang, jangan biarin mulutmu berkuasa. Cerocosanmu itu bikin tambah sakit." ejek dana agak berbisik.

"kenapa sih aku kok malah ngrasa terpojok gini." gerutu yeha menundukkan kepalanya kesal.

Aku tersenyum simpul dapat kembali menyaksikan kegaduhan mereka. Mereka benar benar seperti tak mengetahui aibku yang telah tersebar, atau bahkan mereka seperti masa bodo dengan aibku seperti yang dilakukan mbak farah kepadaku.

"makannya kalo dibilangin itu dengerin, jangan asal tarik tarik. Lihat, kamu biarin aku bawa semua barang." gerutu dana yang menenteng parsel buah dan tas plastik sedang.

"tapi aku kan khawatir, apalagi si alya  saurus itu sengaja ngulur ngulur waktu. Dikira kita caper apa? Lihat sekarang malah keduluan bu..." cerocosan yeha terhenti karena dana segera membekap mulutnya.

"maaf neng ulya, bu farah. Mulut yeha selalu tidak bisa dikondisikan. Seharusnya tadi saya ambil aja baterainya." pinta dana sekalian bercanda. Aku tersenyum, memang sudah tidak kaget bila banyak santri yang memberikan laqob atau julukan tak mengenakkan buat pengurus.

"apaan sih dan, emang aku robot apa? Main copot copot baterai." gerutu yeha. Kami semua tersenyum melihat pertengkaran dana dan yeha, ups salah. Bukan kami, tapi aku saja. Karena mbk farah dari tadi memandang selidik kearah dana dan yeha.

si eneng brandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang