part 22

145 8 0
                                    

kuperhatikan dengan seksama serentetan nama santri yang tertulis dilembar kertas yang baru saja diserahkan oleh farah, sang ketua pondok putri. total ada sepuluh nama, 5 mengikuti lomba kitab dan 5 lagi mengikuti lomba tahfid. dan pastinya farah kesini mau mengizinkan dan membicarakan soal ini kepadaku yang sekarang memang dituntut mengurus masalah pondok putri dengan umi.

"masuk mbak." ajakku berjalan masuk rumah dan duduk disofa ruang tamu. farah berjalan mendengkul mendekat. "mbak farah ini-" ucapanku terhenti karena melihat farah duduk dilantai. ini memang tidak aneh dan sudah biasa bila santri itu duduk dibawah saat pemilk pondoknya duduk diatas. tapi aku sama sekali tak menyukai ini. "mbak farah apa apaan sih, sini duduk didekat saya." pintaku menepuk sofa disebelahku. mbak farah menunduk menggeleng gelengkan kepalanya pelan. "mbak..." panggilku.

"maaf neng ulya, saya hanya santri." tolak mbak farah tersenyum kikuk.

"trus kenapa?, saya juga santri kali mbak. santai aja, lagian saya ini masih muda dan masak saya berani duduk diatas dan membiarkan yang lebih tua duduk dibawah." jelasku tersenyum. "anggap saja saya teman, saya ini bukan yang punya pondok." lanjutku menarik tangannya. akhirnya mbak farahpun menurut dan duduk disampingku.

"lomba dimana ini mbak?" tanyaku.

"di surabaya neng." jawab mbak farah.

aku mengangguk angguk. "kemaren tingkat kabupaten lolos, sekarang maju tingkat provinsi." jelas farah membuatku kembali mengangguk anggukkan kepalaku. belum aku bertanya cukup jauh lagi kepada farah, terdengar langkah kaki membuatku mendongak. mas arra melangkah sambil merapikan bajunya, hari ini ia memakai celana panjang dan kemeja warna coklat. ia nampak sangat rapi.

"mas..." panggilku bangkit. mas arra tersenyum melihatku dan segera melangkah mendekat.

"ada apa ul?, kenapa farah disini?" tanya mas arra.

"oh, mbak farah dan aku mau ngomongin tentang antri yang ikut lomba tingkat provinsi." jelasku.

"oh..., tenang aja rah. udah diurus itu semua. kamu tinggal bimbing terus yang ikut." jelas mas arra membenarkan letak songkoknya.

"mau kemana mas?" tanyaku menatap matanya. bukannya menjawab ia malah tersenyum membuatku semakin terperosok tertegun. "aku gak butuh senyum, aku butuh jawaban." segera aku menunduk memutus kontak mata, takut semakin terlarut dalam situasi. mas arra menarik daguku kembali menatapku senantiasa tersenyum.

"bilang aja kamu gak mau jauh jauh dari aku kan? takut rindu." goda mas arra memperpendek jarak tatapan kami. jantungku berdebar debar tak menentu, rasa gugupku semakin menjadi. "pipi kamu merah sayang, lucu." goda mas arra lagi membuat jantungku serasa meloncat loncat ingin pindah dari tempatnya. tak ingin semakin terlihat salah tingkah dan aku juga malu karena ada mbak farah disini. maka aku segera berbalik ingin menjauh, baru saja beberapa langkah tanganku ditarik olehnya pelan membuatku berhenti.

"aku mau ngurus masalah beasiswa, jangan khawatir. sebisa mungkin aku akan cepet cepet pulang." ucap mas arra mengecup punggung tanganku.

astaghfirullah..., kenapa aku jadi begini. tanpa kutolehkan kepalaku segera kulepas tanganku dan melangkah untuk kembali duduk didekat farah. sebenarnya aku sendiri tak tau kenapa mas arra tiba tiba berani begini mengumbar kemesraan didepan santri, sedangkan aku kenapa malah gugup dan salah tingkah.

"aku berangkat sayang." pamit mas arra mengecup puncak kepalaku.

"mas..., malu tau ada mbak farah." gerutuku yang semakin merasa hawa panas dipipiku.

"biarin, biar farah iri." balas mas arra melangkah pergi.

"assalamualaikum." salam mas arra.

"waalaikumussalam." jawabku lirih sambil tersenyum sendiri senang sambil memainkan ujung kerudungku salah tingkah.

si eneng brandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang