part 50

121 5 0
                                    

Setelah sarapan, bude dan pakde pamit untuk berangkat bekerja. Dan aku yang berada dirumah sendiri berusaha untuk membantu bantu membersihkan rumah. Setelah selesai aku duduk diruang tengah merenggangkan otot.

Kutatap keatas memandang foto keluarga pakde rizal. Beliau memiliki lima anak. Seorang laki laki dan empat anak perempuan. Aku tersenyum, seharusnya anak umi juga lima. Tapi keempat kakakku tidak diberi kesempatan untuk merasakan kehidupan dunia. Dan akhirnya hanya aku satu satunya putri umi dan ternyata sangat mengecewakan.

Terdengar suara pintu terbuka membuat kepalaku dengan reflek menoleh. Aku segera bangkit dan berjalan menuju ruang tamu memeriksa. Seorang wanita berjalan mengendap ngendap sambil menengok kanan kiri mengawasi sekitar. Seketika ketakutanku menjalar, tapi secepat mungkin kuenyapkan dan menampakkan diri.

"kamu siapa?" suaraku yang terdengar bergetar.

Wanita itu terkejut melihatku. Tapi kemudian ia mengusap ngusap dadanya seperti lega.

"tak kiro ibuk." ucapnya lega.

"kamu siapa? Jangan berniat buruk, itu dosa." ucapku asal mencoba mengenyahkan tanganku yang bergetar takut.

"ngomong opo se pean? Aku seng kudu tekok. Kon sopo se?" tanyanya ganti.

"jangan mencoba berputar putar, saya yang bertanya dulu. Kamu siapa?" gertakku yang masih terdengar gugup.

"leh..., kon sangar eram se? Gak salah ta tekon aku sopo?" tanyanya yang terus menghindari pertanyaanku.

"pergi sekarang atau saya teriaki maling." gertakku lagi sambil memegang dinding mengantisipasi sebelum tubuhku melemas ketakutan.

"bengok se, lak pengen bengok. Sangar, kon seng kecekel malahan." remehnya tersenyum sinis dan berkacak pinggang seperti memojokkanku. Aku yang semakin terlihat ketakutan tak sengaja melihat foto keluarga pakde rizal.

Mataku membulat, tersadar bahwa wanita didepanku wajahnya sama dengan salah satu putri pakde rizal. Kutatap foto dan wajah wanita didepanku bergantian, wanita tersebut mengikuti arah pandangku.

"iku foto keluargaku." berita wanita tersebut.

Seketika tubuhku terduduk diatas lantai lemas bercampur lega. Lega bila wanita ini tidak berniat jahat dan lemas karena sudah dari tadi menahan ketakutan.

"kate ngapusi uwong ki didelok disek ta?" katanya meremehkan.

Aku berusa tersenyum dan mendongak. Jujur akhir akhir ini aku seperti tak memiliki tenaga dan sangat malas makan, dan jadilah aku seperti ini.

"kon lapo se?" tanya dia menatapku bingung.

"maaf mbak, aku ulya. Adek sepupu mbak." jelasku tersenyum sambil berusaha bangkit.

Mbak sepupuku tersebut seperti sedang mengingat ingat.

"masyaAllah..., putrine paklek absor seng mobdok jawa tengah?" tanyanya yang hanya kubalas anggukan samar.

"ulya...., kangen banget aku karo pean." lanjutnya berteriak dan langsung memelukku erat. Aku yang baru saja berdiri sempurna ikut terhuyung mengikuti badannya.

"jek iling aku ra? Aku rianti. Anak e bapak seng terakhir." tanya mbak rianti melepas pelukannya dan mencengkram pundakku.

Aku tersenyum sambil menggaruk tengkukku bingung harus menjawab apa. Aku tak ingat sama sekali kapan aku pernah kenal mbak rianti.

"kok iso pean sak iki uayu? Padahal biyen pean gendut, ireng, kumus kumus, umbelan. Sak iki..., nggarai pangkling." jelas mbak rianti yang hanya kubalas dengan senyuman canggung.

si eneng brandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang