part 49

111 6 8
                                    

Kutatap keluar jendela melihat kendaraan yang mulai memenuhi jalan raya. Sesekali kutatap layar hp, menunggu notifikasi pesan dari mas arra. Tapi sudah tiga hari sejak aku izin kuliah lewat wa untuk kuliah dan tidak dibalas, hanya dibaca tanpa berniat membalas. Akhirnya sekali lagi kukirim wa kepadanya bertanya dan memohon untuk dijawab.

Dua jam berlalu, mobil yang kutumpangi dengan kedua orang tuaku perlahan berhenti dan berbelok masuk halaman sebuah rumah yang bersebelahan dengan masjid. Aku memandang keluar sambil menunggu abiku memarkirkan mobil dengan benar.

Ini adalah kota surabaya, tempat yang akan kubuat meneruskan studyku kejenjang yang lebih tinggi dan sekarang aku telah sampai dirumah pakde rizal. Rumah dimana yang akan kutinggali selama kuliah.

"ayo mbak turunin semua barang kamu." perintah abi yang membuyarkan lamunanku. Segera kubuka pintu merasakan hawa panas kota surabaya yang mulai siang. Aku mengikuti langkah abi yang membuka begasi dan membantuku menurunkan barang barangku.

Umi juga ikut membantuku dan kami bersama melangkh menuju pintu rumah yang tertutup.

"assalamualaikum." salam abi meletakkan barang barangku sejenak.

Kulihat sekeliling rumah ini yang begitu sepi hanya lalu lalang kendaraan yang membuat keramaian tempat ini. Sunyi, sepertinya akn menambah kesan kesunyian dalam diriku yang rapuh.

"Waalaikumsalam." suara berat seorang laki laki yang dibarengi dengan terbukanya pintu.

Seorang lelaki yang nampak lebih tua dari abiku menatap kami penuh selidik. Abi tersenyum.

"gimana kabar akang?" tanya abi.  Lelaki yang tak lain pakde rizal, kakak kandung tertua umiku tersebut segera memeluk tubuh abiku erat. Kakak pertama dari delapan bersaudara dan umiku adalah yang paling muda.

"sehat, alhamdulillah... Sak keluarga sehat kabeh." jawab pakde rizal.

Umi tersenyum sambil segera meraih tangan pakde rizal untuk dikecup.

"kang ini ulya, anak ku." umi menepuk bahuku. Aku tersenyum dan segera menggapai tangan pakde rizal dan kukecup.

"alhamdulillah..." ucap pakde rizal sambil mengusap ngusap puncak kepalaku. "ayo ayo, melbu." ajak pakde rizal menarik tanganku masuk rumah.

"beby la...." teriak pakde rizal.

"nggeh mas... Riyen..." ganti suara teriakan seorang perempuan terdengar menjawab panggilan pakde rizal. Dan dapat kutebak pasti itu adalah bude dilla, istri pakde rizal.

"loh ya Allah..., wong kediri... Tamu istimewa iki." bude dilla berteriak senang melihat kami. Abi dan umi segera bangkit bersalaman dengan bude, begitupun aku. "sopo iki? Ulya ta?" tanya bude dilla yang masih menggenggam tanganku seusai bersalaman.

"nggeh bude." jawabku tersenyum.

"uayu tenan lo anakmu sor?, bedo adoh karo cilik ane." puji bude fadhilla mengusap ngusap puncak kepalaku.

"loh, anak e sopo disek to yu?" balas abi memuji diri sendiri.

"tapi kok kuru eram se ya? Ratau dipakani ta karo abi umi mu?" canda pakde rizal.

"diet ta sampean nak?" tanya bude tersenyum.

Aku menunduk tersenyum sambil menggeleng gelengkn kepala. San akhirnya kami bercanda sampai tak terasa waktu dhuhur telah tiba. Akhirnya percakapan kami terhenti untuk menghadap Sang Pencipta dulu.

#

Tepat setelah sholat isyak umi dan abiku pamit pulang. Rasanya seperti pertama mondok, sangat berat untuk ditinggal kedua orang tua. Aku ingin menangis tapi malu dengan pakde dan bude. Dan aku akan pulang hanya setelah aku dapat gelar sarjana.

si eneng brandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang