part 42

76 6 2
                                    

"bukan itu mbak...!" tegurku dengan meninggikan nada bicara, membuat para santri disekitarku terkejut. Apalagi tiga santri didepanku yang sedang setoran hafalan qur'an. Berkali kali kugebrak meja menyalahkan setoran santri.

Saat ini emosiku benar benar tak terkendali, gigi ku pun sampai bergemetuk menahan emosi. Sadar akan tundukan para santri yang ketakutan, apalagi tiga santri didepanku yang diam tak melanjutkan setorannya. Sesekali tangannya menghapus air mata yang turun.

Kuhembuskan nafas pelan sambil menyandarkan tubuh ditembok. Kupijat pijat keningku yang terasa semakin pusing, dan entah mengapa tubuhku terasa panas. Rasanya sekarang aku sangat kacau dan ingin menangis.

"dek ulya." panggil mbak farah yang entah sejak kapan sudah berada disampingku.

"tolong semakkan mbak, saya capek." ucapku dengan suara sedikit parau. Aku segera bangkit melangkah pergi sambil mengusap ngusap mataku yang terasa semakin panas.

Sudah seminggu lamanya alnord berada dipondok ini dan seminggu sudah aku selalu diganggunya. Dia benar benar membuatku semakin stress. Lebih lebih lagi, aku juga belum berhubungan dengan mas arra semenjak masalah aisyah. Ku tak bisa menyimpan ini sendiri, aku bisa stress sungguhan lama lama. Apabila ketahuan semua kebrandalanku dulu.

Tiba tiba tanganku digenggam membuatku reflek berhenti dan menoleh. Alnord tersenyu licik kepadaku, membuatku bergidik semakin ketakutan dan frustasi.  Kuhempaskan tangan alnord kasar dan berusaha menatapnya kesal.

"cukup, jangan ganggu hidupku lagi." keluhku segera melangkah pergi dengan cepat.

"lo harus tanggung jawab sama perasaan gue!" teriak alnord yang berusaha kuanggap angin lalu.

Ku abaikan teriakan alnord dan terus melangkah persi menuju rumah. Tapi tiba tiba sebuah tangan menarik tanganku sebelum aku sempat membuka pintu. Membuat tubuhku ikut tertarik dan langsung didekapnya. Entah mengapa pikiranku tertuju pada alnord, membuatku langsung mendorong kuat tubuh tersebut.

"aku udah tegasin sama kamu!  Jangan ganggu hidupku lagi!!!, biarin aku tenang!!!" bentakku menunduk.

"ulya, lo kenapa?" sebuah suara yang sangat familier bertanya. Segera kuangkat kepalaku terkejut, dia bukanlah alnord. Melainkan sahabat terbaikku, clarissa. Sekarang ganti aku yang menarik rissa kedalam pelukanku.

"lo kenapa tadi dorong gue? Are you oke?" tanya rissa memblas pelukanku. Kugeleng gelengkan kepalaku pertanda aku sedang apa apa. Aku tidak baik baik saja, kupererat pelukanku sebagai tanda bila aku butuh rissa. Tangisku kembali tumpah dalam pelukan rissa.

"ayo kita masuk rumah lo aja. Gak enak disini diliatin ama santri bokap lo." gerutu rissa menuntun tubuhku masuk kedalam rumah lalu melangkah lagi masuk kedalam kamar.

#

Sudah tak terhitung, berapa banyak rissa mondar mandir didepanku sambil menatap cemas layar hp. Dari tadi ia berusaha menghubungi mas arra tapi tak ada hasil sedikitpun. Hp mas arra tidak aktif, rissa kembali duduk disampingku.

"kenapa sih lo dari awal gak cerita sama gue kalo aisyah itu mantan calon istri suami lo yang gak jadi dinikahi karena disuruh nikah sama lo?" pertanyaan panjang risa yang hanya kubalas dengan tundukan kepala. "lo sendiri juga gak pernah cerita kalo mas arra dapat beasiswa yang sama dengan si aisyah."  gerutu rissa meletakkan hp disampingnya. Memang aku telah menceritakan semua masalah aisyah kepada rissa, tak lupa juga masalah alnord yang mondok disini dan terus menggangguku.

"lagian lo kenapa sih gak mau cerita sama mas arra? Gue emang janji bakal selalu dukung apa langkah lo, tapi apa lo mau selamanya menyembunyikan. Hubungan suami istri itu butuh saling percaya dan keterbukaan. Kalo lo aja gak terbuka sama suami lo, gak akan pernah ada yang bisa nolongin hubungan kalian." nasehat rissa panjang lebar dan aku lagi lagi hanya bisa menunduk menyadari kesalahan ku. "pokoknya gue gak mau tau. Secepatnya harus cerita sama mas arra, semakin lo pendam semakin besar masalah yang lo dapet." lanjut rissa menatapku tegas.

Perlahan aku mengangguk dan menghapus air mataku. Emang bener risa, aku haru terima konsekuensinya.  Lagian ini masa lalu, dan semakin lama aku sembunyikan maka semakin besar pula masalah yang bakal aku hadapi.

"sekarang gue gak bisa lama lama. Bokap gue udah nunggu." risa bangkit. "lo harus segera ngomong. Entah pinjem hp bonyok lo atau si farah. Pokok lo harus ngomong." ingat risa tegas dan segera menjabat tanganku.

"makasih sa atas saran kamu, dan makasih juga kamu hadir disaat yang tepat." ucapku memeluk tubuh rissa. Aku bersyukur. "aku bakal cerita semuanya ke mas arra. Secepatnya!" tegasku masih nyaman memeluk tubuh risa.

"udah, gue harus pulang." risa melepaskan pelukannya. Aku tersenyum dan segera mengikutinya keluar rumah, untuk berpamitan pulang.

#

Hari ini adalah hari jum'at. Semua kegiatan pondok hari ini libur dan aku sudah siap untuk berangkat kepondok puntri. Untuk apa? Aku ingin meminjam hp mbak farah sekalian meminta maaf kepada para santri yang terkena pelampiasan kemarahanku kemaren. Semoga saja mereka memaafkanku, dan aku juga akan mengungkapkan semuanya kepada mas arra.

"dek ulya." panggil mbak farah yang baru datang dari gerbang depan dengan diva. Mereka melangkah mendekatiku, dan aku segera berlari mendekati mereka.

"mbak farah..." panggilku langsung memeluk tubuhnya membuat ia agak terhuyung kebelakang.

"innalillahi wainnailaihi rojiun!" ucap mbak farah terkejut. Diva tersenyum melihat kami, aku melepaskan pelukanku dan ikut tersenyum menatap mbak farah yang terkejut.

"untung belanjaannya gak jatoh." gerutu mbak farah yang memang membawa dua tas belanjaan, Begitu juga diva.

"maaf...." pintaku tersenyum.

"seneng banget?" tanya mbak farah menatapku curiga.

"hehehe, aku pengen minta maaf sama santri santri kemaren yang kena pelampiasan kefrustasianku. Lebih lebih, sabtri yang sampai kugebrak mejanya saat setoran dan aku bentak." jelasku tersenyum.

"ngomong ngomong, kalo neng ulya marah nyeremin juga ya. Sampe ada yang nangis lagi, memang betul istri gus arra." kagum diva yang ku tanggapi dengan senyum penyesalan sambil menggaruk tengkuk.

"makanya, kalo ada masalah itu jangan dipendem sendiri. Kemaren sirisa datengkan makannya kamu bisa plong sekarang?" kata mbak farah.

"iya iya mbak. Makannya, nanti aku mau sekalian pinjem hp ya buat cerita sama mas arra." mohonku dengan mengedip nhedipkan mata.

"ye... Bilang aja kangen, seminggu gak pernah vc atau telfonan." gerutu mbak farah melangkah mendahuluiku. Diva tersenyum dan segera mengikuti mbak farah. Aku tersenyum dan ikut melangkah bersama mereka.

"neng ulya..." sebuah suara yang membuatku reflek berhenti dan menoleh mencari siapa yang telah memanggil namaku.

"dek ayo..." tegur mbak farah.

"neng ulya..." suara itu terdengar kembali.

"duluan aja mbak." ucapku yang masih sibuk mencari orang yang memanggilku. Karena tak kutemukan siapapun disekitarku, akupun yakin kalo aku hanya halu. Aku melangkah kembali, tapi baru selangkah. Tanganku ada yang menarik dengan kasar menuju area diniah.

si eneng brandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang