part 48

104 5 5
                                    

Hari hari berlalu semakin terasa berat untukku. Kesehatan jasmaniku mulai membaik berangsur angsur. Dirumah aku hanya melakukan kewajibanku mengajar, mengurus pondok dan murojaah. Walaupun banyak santri yang tidak menyukaiku karena aku si eneng brandal dan tak jarang santri menghiraukan ku saat pelajaran ataupun kusuruh. Tapi aku harus tetap kuat, aku sadar disebelahku masih ada umi, abi, mbak farah, yeha, dana, dan juga rissa yang sering telfonan bersamaku.

Dan sekarang adalah hari teristimewa mbak farah. Dia sekarang menikah dengan mas riski dipondok. Aku sekarang berdiri disamping mbak farah bersama umi didepan pondok putri. Ijab qobul sedang berlangsung didalam masjid, kami disini mendengarkan dari pengeras suara.

"sah..." teriakan para santri setelah mas riski mengucapkan qobul dengan lancar.

Mbak farah tersenyum menggenggam tanganku. Aku ikut tersenyum, mbak farah sekarang sudah sah menjadi istri mas riski sahabat mas arra.

"semoga menjadi keluarga yang samawa mbak." ucapku.

"makasih dek." ucap mbak farah semakin erat menggenggam tanganku.

Mempelai pria mulai turun dari masjid diikuti sekerumunan orang. Nampak riski tersenyum bahagia sambil memeluk leher seorang laki laki yang selalu difikiranku selama ini. Aku terdiam sejenak, melihat mas arra yang tersenyum bahagia menepuk nepuk bahu riski. Dia nampak sangat sehat dan segar, rambutnya semakin panjang dan jambangnya pun juga semakin lebat.

Jantungku berdebar semakin kencang saat mempelai pria bersama rombongannya semakin mendekat menyusul mempelai wanita.

Tatapan mataku dan mas arra bertemu, seketika senyumnya langsung hilang. Ia bisikkan sesuatu kepada riski dan segera melangkah pergi. Aku terdiam, sebegitu bencinyakah mas arra sampai melihatku saja ia langsung pergi menjauh? Kutundukkan kepalaku merasa mataku mulai berkaca kaca.

"mbak farah, aku kebelakang dulu ya." izinku segera melangkah pergi sambil mengahapus air mata yang telah turun. Aku segera masuk rumah dn menutup pintunya, kusandarkan tubuhku dipintu.

Tubuhku yang lemah merosot terduduk diatas lantai. Tangisku keluar dengan deras, aku benar benar mencintai mas arra. Dan apa yang kulihat tadi? Dia tersenyum bahagia dengan badan yang terlihat semakin sehat dan bugar seperti tak memiliki beban masalah sedikitpun.

"saya melepaskan neng ulya agar neng ulya baik baik saja dan bahagia." sebuah suara membuatku terkejut dan segera mengangkat kepala.

Mas arra duduk diatas sofa menundukkan kepalanya membiarkan wajahnya tertutup oleh rambut gondrongnya. Kuhapus air mataku dan segera bangkit mendekati mas arra.

"aku gak mau cerai dari mas arra, aku gak bahagia mas." tangisku bersimpuh dibawah sambil memeluk kaki mas arra. Mas arra segera melepaskan tanganku dan menarik tubuhku agar duduk didekatnya.

"jangan pernah membohongi hati neng ulya sendiri, hiduplah dengan tenang dan bahagia." ucap mas arra kembali menundukkan kepalanya. Sungguh terasa menusukku, mas arra benat benar benci dan tak mau memaafkanku sedikitpun.

"alnord hanya masa laluku mas, dan untuk sekarang dan masa depanku adalah mas arra." jelasku menundukkan kepalaku. Aku sungguh ingin memeluk mas arra sekarang dan mengatakan bila aku benar benar mencintainya.

"saya nggak mau mengekang neng ulya dengan status pernikahan kita." kata mas arra masih tetap menunduk menyembunyikan wajahnya.

"kapan mas arra memaafkan ku? Umi, Abi, Mbak farah sudah memaafkanku. Aku gak nyaman tanpa mas arra." jelasku membiarkan air mata terus membasahi pipiku.

Mas arra terdiam, ia memutar tubuh menghadapku dan menarik daguku. Mataku bertemu dengan mata tajam mas arra. Perlahan tangn mas arra menghapus air mataku.

"saya bukan umi dan abi ataupun farah. Saya ya saya, gak bisa berubah sesuai keinginan neng ulya." jelas mas arra terus menghapus air mataku dengan sabar. "jangan pernah memikirkan saya kalo itu hanya buat neng ulya sakit. Hiduplah bahagia dengan kebahagiaan neng ulya." lanjut mas arra berhenti menghapus air mataku.

"kalau kebahagiaanku adalah mas arra bagaimana? Aku gak mencintai alnord sama sekali." jelasku menggenggam tangan mas arra.

"tapi nasi telah menjadi bubur neng. Maafkan saya." ucap mas arra melepaskan tanganku, kemudian ia bangkit dari duduk.

"mas... "

"terus perhatikan kesehatan neng ulya, saya harus kembali lagi kemesir sekarang. Maafkan saya neng." ucap mas arra segera melangkah pergi, mengabaikan setiap teriakku yang memanggil namanya. Aku kembali terduduk diatas lantai menangis meratapi nasibku yang sungguh malang.

#

Terus kulafalkan hafalan qur'anku sambil sesekali menghapus air mata yang keluar tanpa izin. Sesenggukan kecilkupun sesekali terdengar menambah bukti betapa pilunya aku sekarang. Sudah sembilan juz aku murojaah tanpa henti, diotakku selalu berfikir mas arra yang kutahu itu hanya sesuatu yang sia sia. Karena yang kufikirkan sudah pasti tak memikirkanku sama sekali.

Pintu kamarku terbuka, umi dan abi berdiri disana dengan senyumnya yang menenangkan. Segera kuhapus air mataku dan tersenyum menatap kedua orang tuaku. Mereka melangkah dan segera duduk didekatku sambil menarikku kedalam pelukan. Ya kami sudah cocok menjadi teletabis, Karena setiap bertemu selalu berpelukan.

"sampai kapan seperti ini terus?" tanya abi tanpa melepas pelukannya. Aku faham arah pertanyaan abi, tapi aku han6a diam karena aku sendiri tak tahu aku akan samai kapan seperti ini, selalu menangis meratapi nasib.

"umi sama abi sayang banget sama kamu. Kami gak tega liat kamu yang semakin hari mirip mayat hidup." jelas umi semakin mengeratkan pelukan.

"kamu Pengennya gimana?" tanya abi melepaskan pelukannya dan menghapus sisa sisa air mataku.

"ulya mencintai mas arra abi, abi gak pernah salah untuk menikahkan aku dan mengembalikan ulya kepada pemilik tulang rusuk ulya." ucapku yang masih terdengar dwngar samar sesenggukan.

Abi kembali menarikku kedalam pelukannya, beliau kecup puncak kepalaku. Kubalas pelukan abi dan menangis didada beliau, kembali menumpahkan rasa sakitku. Umi mengusap ngusap punggungku berusaha menghentika guncangannya.

"abi dan umi gak bisa melakukan apapun dengan rumah tangga kalian." ucap umi.

Kuhapus air mataku, memang tak ada bisa yang melakukan apapun dengan rumah tanggaku dengan mas arra kecuali aku dan mas arra sendiri. Tapi bukankah juga sia sia jika aku bertahan tapi mas arra tak mau.

Abi melepaskan pelukannya kemudian menghapus air mataku. Kugenggam tangan hngat abi tanpa berani memandang wajah beliau.

"abi sudh memikirkan ini matang matang." ucap abi yang terdengar semakin serius. "kamu akan kuliah tahun ini." lanjut abi membuatku terkejut.

Aku menoleh menatap umi, beliau tersenyum sambil mengangguk menatapku. ganti kutatap abi yang juga tersenyum sambil mengusap puncak kepalaku.

Sungguh dari dulu aku tak pernah berfikir untuk kuliah, aku hanya ingin dirumah mengurus suami dan pondok ini. Tapi sekarang suamiku pergi menjauh kecewa kepadaku, sedangkan para santri juga sama kecewa seperti mas arra kepadaku.

Tapi bagaimana aku kuliah?bagaimanapun aku masih seorang istri walaupun sudah jatuh talak satu untukku. Apakah mas arra bakal mengizinkan? Membalas chatkupun tak pernah ia lakukan.

si eneng brandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang