part 41

77 6 0
                                    

Jam setengah sepuluh seusai aku menyimak hafalan para santri dan sejenak bersenda gurau dengan para santri. Aku memang tidak mau memposisikan diriku menjadi anak kyai yang harus disegani. Aku lebih memposisikan diriku menjadi teman yang menyenangkan. Jadi semua nyaman nyaman saja denganku dan tidak malu untuk bercanda dan curhat kepadaku.

"dek, udah malam balik kedalem gih." tegur mbak farah.

"tapikan aku pengen tidur dipondok sama mbak farah." keluhku tersenyum.

"besok aja, lagian umi sama abi nyariin kamu." berita mbak farah. Aku sedikit terkejut, mengapa umi dan abi mencariku? Apakah ada hal yang ingin dibicarakan kepadaku?

"yaudah deh aku pulang." gerutuku bangkit.

"mbak mbak yang cantik cantik, saya pulang dulu ya... Assalamualaikum." pamitku segera melangkah pergi menuju rumah.

Kupercepat langkahku tak ingin kedua orang tuaku menunggu sekaligus ingin cepat menghapus rasa penasaranku.

"assalamualaikum." salamku sambil membuka pintu rumah.

"waalaikumussalam." jawab abi.

"ini dia mbak ulya." kata abi tersenyum.

"ada apa bi?" tanyaku sambil menatap dua orang didepan abi dan umiku. Laki laki dan perempuan, dan tunggu.  Sepertinya aku agak familier dengan wajah perempuan tersebut.

"ini, ada santri baru. Rumahnya deket sama pondok kamu." berita abi.

Tak salah lagi. Perempuan tersebut adalah bu asih, penjahit langganan pondok kami.

"loh, neng ulya ya?" tanya bu asih tersenyum menatapku. Aku membalas senyumnya.

"kenal sama anak saya bu?" tanya abi ikut terkejut, begitupun umi.

"kenal lah bah. Neng ulya ini pengurus yang sering mengambil pesanan jahit baju seragam pondok dirumah saya." berita bu asih tersenyum. Pandanganku berpindah kesebelah bu asih, seorang lelaki muda yang menundukkan kepalanya seperti menyembunyikan wajah.

"oh...," abi dan umi mangut mangut.

"lha yang mau mondok disini itu putra dari ibu ini mbak. Umurnya 22 tahun baru pengen mondok, namanya... Aduh abi lupa. Siapa nama kamu nak?." tanya abi menatap laki laki itu. Perlahan laki lki terseburpun mendongakkan kepalanya.

"nama saya alnord." beritanya sambil menampakkan wajahnya dengan senyum menyeramkan. Aku tersentak, Ya Allah...  Apa ini. Alnord berada didepanku, dia sudah keluar dari penjara dan sekarang ingin mondok dirumahku?  Apa yang dia inginkan?

"neng ulya pernah lihat dirumah saya?" tanya bu asih menyadari ekspresi terkejutku.

"engh... Engh... Enggak bu." jawabku gugup. "abi umi, ulya masuk kamar dulu ya. Capek." izinku segera melangkah masuk kedalam kamar. Aku duduk diatas tempat tidur panik, kuusap usap kasar wajahku.

Ya Allah..., selanjutnya apa lagi yang akan terjadi kepada hambamu ini... Masalah mas arra saja belum benar benar selesai karena kabar aisyah menikah membuat kemamanganku muncul. Sekarng mlah alnord mondok disini, tak mungkinlah aku memberi tahu siapa sebenarnya alnord. Itu sama saja bunuh diri.

#

Malam semakin larut dan aku masih terus memvolak balikkan tubuhku mencari posisi ternyaman tapi tak kunjung kudapatkan. Tempat tidurku saja sampai berantakan sekarang, tapi aku tak kunjung bisa tidur. Rambutku udah kayak gembel karena dari tadi kugaruk garuk bingung.

Bantal dan guling sampai jatuh dari tempat tidur karena tingkahku yang berputar putar seperti jarum jam. Padahal sekarang sudah menunjukkan pukul tiga dini hari dan rasa kantukbelum sekalipun menyerangku. Begitu takutnya kah aku dengan alnord  sampai bisa tak tidur.

Akhirnya kuputuskan untuk duduk. Kukeluk lututku sendiri dan membenamkan wajahku diantaranya.  Tanganku perlahan meremas rambutku. Aku benar benar capek dengan semua ini, aku capek dengan masalah yang tak henti hentinya muncul silih berganti dikehidupanku. Mas arra, ali, aisyah dan sekarang alnord kembali lagi datang dan menambahi beban dihidupku. Aku capek, kesal. Ini benar benar menguras emosiku, kesabaranku. Perlahan terdengar sesenggukan lirih pertanda akan tangisku yang telang turun.

"astaghfirullahaladzim..., mbak ulya." teriak umi kaget. Terdengar langkah kaki mendekat dan tidak lama kurasakan sepasang tangan merengkuh tubuhku. Membiarkannya bersandar didada mencari ketenangan. "sayang..., istighfar. Kamu kenapa?" tanya umi yang terdengar jelas nada khawatir disetiap ucapannya.

Rasanya sungguh campur aduk. Rindu mas arra, cemburu dengan aisyah, bingung dengan maksud alnord.  Punggungku berguncang akibat tangisku, umi terus mengusap ngusap punggungku penuh kasih sayang. Kasur berdenyit tanda seseorang lagi telah duduk diatasnya. Dan sebuah tangan mengusap pelan rambutku.

"ada apa sayang?" tanya umi lembut tapi terdengar khawatir. Aku tetap diam tak menjawab, membiarkan tubuhku terus dalam dekapan umiku.

"abi dan umi gak tau apa masalah kamu. Kamu udah besar, udah bisa berfikir sendiri mana yang baik dn tidak." jelas abi yang telah duduk disampingku. "lihat, badan kamu tambah kurus. Lingkar hitam disekitar mata kamu juga makin jelas,  sayang. Mau sampek kapan kamu begini?" lanjut abi bertanya. Hening tak ada suara apapun selain sesenggukan tangisku yang mulai berusaha kukendalikan.

"perasaan abi kamu udah lama gak kacau seperti ini sejak arrazi kekairo. Sekarang kok gini lagi?" tanya abi terdengar tegas.

Abi dan umi tak sepenuhnya tau apa yang kurasakan sekarang. Rasanya capek aku menjalani ini semua.

"abi gak tau yang ulya rasakan." rengekku menghapus air mata dan mengangkat sedikit kepalaku.

"makanya cerita. Kamu mau cerita sama siapa lagi kalo bukan orang tua kamu? Abi dan umi bakal mencarikan solusi buat kamu." jelas abi.

Cerita? Masalah ini aja sudah membuatku hampir gila, bagaimana kalo umi dan abi tau. Pasti aku sudah gila dan habis. Aku tak bisa membagi cerita kalo akhirnya hanya akan menambah bebanku. Aku tak sanggup melihat mereka kecewa terhadapku yang telah dipondokkan 12 tahun.

"abi dan umi gak bisa hnya memikirkan kamu." jelas abi yang nadanya mulai tak mengenakkan hati. Aku seketika terdiam, sesenggukanku kutahan agar tak sampai keluar. Umipun jiga diam tk bisa apa apa, yang umiblakukan hanya lebih memeluk tubuhku erat. Menyalurkan rasa tenang.

"bila kamu gak usaha buat memperbaiki masalah kamu sendiri. Gak akan ada yang bisa membantu." jelas abi menusuk.

"maafin ulya abi." pintaku dengan suara parau.

"kata maaf saja gak bakalan cukup kalo gak disertai dengan bukti. Berubah mbak!, kasihan semua orang yang sayang kamu." jelas abi menyanggah permintaan maaf ku.

Kulepas pelukan umi perlahn dan menghapus air mataku. Kutatap umi dan abi sambil memaksakan seulas senyum, aku harus kuat. Aku tak bisa terus membuat orang tuaku yang rambutnya mulai memutih dimakan usia khawatir.

"gitu dong senyum." kata abi ikut tersenyum,  kemudian beliau menarik tubuhku kedalm renhkuhannya.

"Abi dan umi sayang banget sama kamu." kata abi mengecup puncak kepalaku.

"jangn sedih lagi ya mbak, umi khawatir." pinta umi ikut memeluk tubuhku. Aku tersenyum, bersyukur memiliki orang tua seperti Abi dan Umi. Ku bals pelukan mereka dengan senyuman.

"ulya itu putri umi dan abi. Jadi ulya juga harus menjadi sosok yang kuat seperti umi dan abi." tegasku yang entah bisa tidak aku melakukannya. Memang, berbicara adalah hal termudah untuk dilakukan. Tapi melaksanakan adalah hal yang sulit untuk mewujudkan ucapan.

si eneng brandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang