part 35

78 7 0
                                    

Mas arra merangkul pundakku sambil terus melangkah, dibelakang kami willy dan mala membuntuti sambil membawa barang barang mas arra. Aku diam sambil melingkarkan tangan dipinggang mas arra. Rasanya tambah berat melepaskan mas arra setelah tau bila aisyah juga ikut progam beasiswa ini.

"percaya sma ku sayang." yakin mas arra.

"iya mas, aku percaya." ucapku lirih. Kami akhirnya berhenti ditempat akhir pengantar boleh mengantar. Mas arra berdiri didepanku sambil memegang kedua bahuku.

"apa aku gak berangkat aja, biarkamu gak cemburu." tawar mas arra. Perlahan kugeleng gelengkan kepalaku yang menunduk. Bagaimanapun aku tal boleh egois, mas arra pergi untuk mencari ilmu bukan mencari cinta aisyah. Dan inipun untuk kebaikan semua, bukan mas arra seorang.

"aku percaya sama mas. Tapi pasti aku bakal rindu banget." ucapku yang masih enggan menganggkat kepala. Mas arra menarik daguku, membuat kepalaku mendongak dan menatap matanya.

"setiap kamu cemburu, ingat bahwa aku hanya mencintai kamu." yakin mas arra. "aku sangat amat mencintaimu sekali." lanjut mas arra.

"gak baku banget sih mas. Alay." aku tersenyum menatap mas arra. Mas arra membalas senyumku sambil mengusap kedua pipiku.

"biar kamu puas." bisik mas arra lalu mengecup keningku lama.

"mas, gak cuma mbak ulya kali yang nganterin mas razi." gerutu ali kesal. Mas arra tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang entah gatal atau tidak. Mas arra melangkah mendekati ali dan mengusap rambut ali, ia baru sadar bahwa adiknya juga bisa cemburu.

"do'a kan mas." pinta mas arra.

"yaelah, kalo itu sih jangan minta mas. Setiap hari tanpa mas razi mintapun ali udah lakuin." terang ali menghembuskan nafasnya. Mas arra tersenyum sambil menarik ali kedalam pelukannya sambil menepuk nepuk punggung ali.

"titip istri mas, Jaga dia." bisik mas arra melepaskan pelukannya. Sejenak ali menatapku datar dan dingin, kemudian menatap mas arra sedikit hangat. Mas arra kembali menatapku yang masih menunduk berusaha keras menahn tangis. Ini bahkan terasa hampir sama menyakitkan ketika aku pertama ditaruh dipondok dan harus berpisah dengan umi dan abi. Mas arra menarikku kedalam pelukannya, ia usap usap rambutku pelan.

"aku pasti bakal rindu banget sama kamu." bisik mas arra tepat ditelingaku. Kubalas pelukanku, menyembunyikan mataku yang mulai terasa berair didada bidang mas arra. "gak pengen ngucapin sesuatu?" tanya mas arra kembali berbisik. Kupererat pelukanku, aku faham mas arra sangat ingin sebuah kalimat cinta ynruknya bisa keluar dari mulutku, tapi lidahku rasanya kaku. Aku takut bila aku berucap sesuatu suara parauku akan terdengar dan tangisku pecah.

Tapi bagai manapun aku harus berkata sekarang kepada mas arra. Saat aku telah mengumpulkan mental untuk berbicara, tiba tiba bola mataku tertarik oleh sosok yang sama sekali tak asing dimataku. Siapa lagi kalo bukan gadis berparas ayu, si aisyah. Ternyata ia benar benar daat beasiswa seperti mas arra.

Mataku terpejam, dan tak tau sejak kapan air mataku mulai turun. Kupererat pelukanku semakin menyembunyikan wajah didada mas arra. Mas arra terkekeh dan semakin mempererat pelukannya. sesenggukan kecilku mulai terdengar, membuat mas arra reflek melepaskan pelukannya dan mendorong tubuhku pelan.

"kok nangis?" tanya mas arra menatapku sambil menghapus air mataku. Aku menggeleng gelengkan kepala sambil menghapus air mataku kasar, pokok aku tak boleh menangis.

"cengeng banget sih mbak, kayak cinta beneran aja sama mas razi." ledek ali memandang kami sinis.

"hobi banget ya ngledek istri mas?" tanya mas arra tersenyum sambil menggeleng gelengkan kepala menatap ali. Ali acuh, ia mengangkat bahunya dan menatak lanti. Tangannya didalam saku celana dan kakinya menendang nendang kecil angin. Ketika mas arra ingin melangkah mendekati ali, segera kugenggam tangannya.

"gak papa mas, cara pandang setiap orang berbeda. Ucapan ali bisa aku jadikan intropeksi diri. Lagian kayaknya alo cuma bercanda." jelasku  mencoba tersenyum dan telihat tegar.

"sok bijak." ucap ali dingin.

"ali...!!!" panggil mas arra mulai terpancing.

"gak papa mas..." tenangku mengusap usap tangan mas arra.  "Allah lebih tau apa yang tersimpan dalam hatiku." lanjutku menatap willy. Sedangkan willy menatapku dingin.

"kok jadi tegang gini sih?" ucap mala menggaruk garuk tengkuknya. "willy, jangab mancing emosi mbak ulya sama mas razi. Mereka sekarang sama sama sedih karena akan berpisah. Seharusnya kamu menghibur." tegur mala membuat willy membuang muka menatap lainnya.

"aku yakin pokok sekarang mas razi melangkah kemana. Pokok aku akan dukung mas terus dan jadi garda terdepan bila ada yang nyakitin mas." jelas willy menatap kearah lain.

"makasih, tapi kamu gak perlu segitunya. Yang seharusnya jaga kamu itu aku, bukan sebaliknya." jelas mas arra mengusap punggung willy. "udah, aku masuk dulu. Takut telat." ucap mas arra. Willy mengangguk dan segera meraih tangan mas arra dan dikecupnya.

"jaga istri mas, dia berharga banget buat mas." bisik mas arra dalam pelukannya kepada ali. Willy memutar bola matanya malas. Mas arra melepaskan pelukannya sambil mengusap rambut willy.

"mala, mas berangkat ya." pamit mas arra.

"hati hati, mas." ucap mala tersenyum sambil melekatkan kedua tangannya didepan dada meniru mas arra. Mas arra mengangguk sambil tersenyum.

Mas arra menatapku, aku langsung menunduk menyembunyikan wajah senduku. Ia tarik daguku dan memberaihkan air mata dipipiku.

"terakhir. Apa kamu gak pengen ngomong sesuatu?" tanya mas arra.  Kutatap mas arra, kugenggam tangannya dan segera kukecup.

"mas, aku..." ucapanku terhenti karena aku tak dapat menahan tangis yang sekarang telah kembali membasahi pipiku. Segera kupeluk mas arra, mengekspresikan seluruh perasaanku lewat pelukan.

Petasaanku sekarang benar benar campur aduk. Sedih ditinggal mas arra, cemburu pada aisyah, dan takut kepada willy. Alnord kurang ajar, berani beraninya ia berbohong kepadaku mengaku adik dari mas arra. Dan bodohnya, kenapa aku langsung percaya tanpa mencari kebenaran.

"jangan nangis, gak malu apa dilihatin banyak orang." ucap mas arra lembut sambil mengusap usap pundakku. Kuhapus air mataku mengendurkan pelukanku, lalu kutarik kepala mas arra dan segera kukecup pipinya lama. Tak peduli banyak orang yang melihat, aku hanya ingin menunjukkan bila aku sekarang telah sungguhan mencintai mas arra tanpa perlu pengucapan. Cukup dengan pembuktian.

Akhirnya kami saling tatap dan tersenyum bersama. Kuhapus sisa sisa air mataku, sedangkan mas arra tersenyum lebar sambil memegangi pipinya yang baru saja kukecup. Mas arra mengusap puncak kepalaku sambil menatap mataku yang sendu. Ia seperti mengambil sesuatu didadanya, kemudian tangan satunya menarik tanganku dan seperti meletakkan sesuatu diatas telapak tanganku.

"kuberikan hatiku untukmu." ucap mas arra menatapku penuh hangat. Aku mengangguk dan tersenyum, mas arra menarikku kedalam pelukannya sambil mengecup keningku. Tiba tiba pelukannya mengerat sampai tubuhku terangkat dan diputar putar oleh mas arra. Aku tersenyum mengeratkan pelukanku.

"yang perlu kamu ingat aku gak pernah mencintai siapapun selain kamu. Istri cengengku ini cinta pertama adan insyaAllah terakhirku." ucap mas arra melepaskan pelukannya, meraih tanganku dan dikecupnya. Pipiku merona salah tingkah.

"ana ukhibbuki fillah." ucap mas arra menatapku membuat pipiku semakin memerah. Aku sadar memang aisyah tak pernah singgah dihati mas arra, hanya ada Allah dan aku dihati suamiku ini.

Mas arra menghampiri willy, dikecupnya kening adiknya tersebut.

"mas berangkat dulu." pamit mas arra, willy tersenyum dan mengecup punggung tangan mas arra. Mas arra mengambil kopernya dari willy, mas arra kembali menghampiriku dan mengusap puncak kepalaku.

"semuanya, mas berangkat dulu. Assalamualaikum." pamit mas arra memandang kami bertiga.

"waalaikumussalam." jawab kami serentak. Kupandang mas arra yang semakin menjauh sampai mataku tak lagi melihat sosoknya. Kutundukkan kepalaku menahan tangis, sebuah tangan mengusap pundakku membuatku tersadar bahwah sekarang hanya tersisa aku dan willy mala.

si eneng brandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang