1. Orientasi

1K 150 71
                                    

Pagar yang menjulang tinggi disertai bangunan bertingkat tiga itu membuat langkah Isyana seketika terhenti. Napasnya menderu. Air matanya berlinang siap dimuntahkan. Sementara kedua tangannya terkepal kuat di sisi rok putih biru.

"Sial, demi apa pun gue benci banget masuk sini," gumamnya, penuh amarah. Ia menendang udara kosong di sekitar sebelum kembali melanjutkan langkah.

Di depan pagar, gadis berkucir kuda tersebut disambut dua senior ber-ID card Panitia MPLS. Akan tetapi, peduli setan mengenai etika yang baik terhadap senior di SMA Tarumanegara, ia tetap melanjutkan langkah. Sama sekali tidak terpengaruh dengan peserta MPLS lain yang berjabatan tangan serta mengucapkan salam.

Sesampainya di koridor, untuk kesekian kali, gadis itu disambut pemandangan yang membuatnya semakin muak mendaftar ke SMA Tarumanegara.

Dari tempatnya berdiri, tampak segerombolan siswa kelas dua belas sedang berusaha mematahkan teralis jendela menggunakan alat-alat
tajam. Isyana menduga, kemungkinan besar patahan teralis tersebut akan digunakan sebagai senjata tawuran melawan STM 05.

"Barbar bener, sih," desisnya satiris seraya menaiki anak tangga menuju gugus Indonesia Raya di lantai dua.

Kalian akan salah besar jika menganggapp SMA Tarumanegara adalah sekolah elit dengan kurikulum berbasis internasional, menggunakan buku-buku pelajaran berbahasa asing, serta pengajar profesional dari antar benua, atau berpikir SMA Tarumanegara merupakan sekolah ber-akreditas A dengan yang memiliki sekolah bak istana, dilengkapi fasilitas kolam renang, GOR, kelas ber-AC, wi-fi, juga seragam selembut kain sutra.

Bahkan, mengira SMA Tarumanegara termasuk sekolah yang mempunyai prestasi akademik serta non-akademik tak diragukan kredibilitasnya.

Saat ini juga, tolong hentikan ekspetasi tersebut.

Nyatanya, SMA Tarumanegara tak lebih SMA swasta ber-akreditas B yang terkenal akan prestasi tawurannya melawan STM 05. Selain dicap markas para siswa barbar dan siswi cabe, SMA ini juga memiliki gedung sekolah yang tidak terlalu besar serta tak memiliki fasilitas menunjang seperti GOR, aula, auditorium, bahkan lapangan basket. Tak heran, tidak ada ekskul basket di SMA tersebut.

Tidak salah buka jika Isyana menyesali keputusannya terjebak di SMA Tarumangera?

Kalau diibaratkan sekolah ini dengan SMP-nya yang dulu, kurang lebih seperti konsep Yin dan Yang. Sangat bertolak belakang.

"ANJIR!" Isyana refleks memekik lantang tatkala sebuah tas hitam abu-abu menyambut kehadirannya dengan lemparan telak di depan pintu gugus Indonesia Raya.
Mau tak mau, hidung gadis tersebut harus merelakan mencium aroma tak sedap dari tas salah sasaran.

Seluruh penghuni kelas sontak membisu. Mereka sadar telah mencari gara-gara dengan macan betina. Meskipun baru tiga hari menjalani masa orientasi, telah terdapat peraturan tidak tertulis jika jangan sekali-kali memancing amarah Isyana di pagi hari. Untuk bersekolah di sini saja, gadis itu harus menahan hasrat untuk tidak mengumpat. Maka dari itu, haram hukumnya bila diusik.

"Maaf, Syan, gue tadi mau ngelempar si Kunyuk, asli!" Seorang siswa berambut kribo keluar dari bawah meja guru sambil menciptakan huruf V menggunakan jari tengah dan telunjuknya. Dialah sang pelaku utama.

Sorot mata Isyana kontan menajam. Seakan hanya sekali lihat, ia mampu mencabik lawan bicaranya. Beberapa siswi bergidik menyaksikan itu.

"Heh, lo apain temen sebangku gue! Cari gara-gara lo, hah?" Tanpa disadari, seorang gadis berambut pendek layaknya siswa laki-laki berdiri di belakang Isyana dengan tatapan berang. Gadis itu lantas bergerak cepat untuk melempar balik tas bau tersebut ke sembarang arah.

All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang