"Itu, tuh, yang katanya masuk AHS lewat jalur sogokan."
"Sok cantik banget ya nempel mulu sama si Kelvien anak X IPA 2. Gelondotan lagi. Dia pikir, bakal bikin orang-orang simpati, gitu? Jijik iya! Mau muntah gue."
"Nggak ada yang istimewa dari dia selain ngandelin kekayaan orangtua. Cantik juga kagak, menang putih doang. Otak pun nol besar."
Hana berusaha menulikan pendengaran ketika melewati koridor kelas X untuk menuju ruang kelasnya di lantai atas. Walaupun perasaan gadis tersebut terkoyak karena perkataan orang-orang jahat barusan, ia berlagak seolah biasa-biasa saja meski sorot mata tidak bisa dibohongi.
Enggak, Hana. Kamu nggak boleh nangis lagi. Kamu nggak dirugikan sama mantan temen-temen SMP kamu itu, justru mereka yang merugikan diri sendiri karena udah buang-buang membicarakan orang lain. Batin Hana menyemangati diri sendiri.
Memang benar yang dikatakan gadis berambut sebahu tersebut. Mereka yang sedang membicarakan keburukannya di sepanjang koridor kelas X adalah teman-temannya dulu ketika SMP.
Dulunya, mereka berteman dekat. Ke mana mana selalu bersama. Layaknya tinta dengan pena yang tak bisa dipisahkan.
Namun, saat H-7 menjelang masa orientasi Andalas High School, Hana baru saja menyadari kesalahannya. Ternyata, selama ini perspektifnya keliru. Bukan begitu konsep menikmati masa remaja. Dengan huru-hara menggunakan kekayaan orangtua, membeli barang-barang mewah tetapi uang orangtua, mengajak teman-teman party memakai uang jajan kiriman orangtua, serta sederet sikap hedonisme lain.
Prinsip Kelvien yang selalu membeli barang-barang keinginnya menggunakan hasil jerih payah sendiri semakin menyudutkan Hana.
Seketika, Hana menyadari sesuatu yang selama ini tak pernah ia pikirkan.
Jika tidak semua hal bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan.
Salah satunya adalah memiliki seorang teman yang tulus mecintainya.
Dari hal tersebut, ia mulai paham.
Cewek-cewek itu hanya mau berteman dengannya karena kekayaan serta kekuasaan yang dimiliku keluarga Risjad. Selain itu, tidak ada. Maka tak mengherankan, ketika Hana berubah, semua orang pun perlahan menjauh. Kecuali satu. Kelvien Alderianno.
_____Sesampainya di kelas X IPS 2, segerombolan siswi di pojok ruangan melemparkan tatapan sinis ke arahnya seraya melanjutkan gosip yang sempat tertunda.
Hana menghela napas lelah. Lagi, ia harus memasang tampang baik-baik saja ketika mendapat cibiran.
Baru saja ia mendaratkan tubuh di bangkunya sendiri, bel pembelajaran pertama berdering tak lama kemudian. Seluruh penghuni kelas X IPS 2 sontak kembali ke tempatnya masing-masing.
Derap langkah yang beradu dengan lantai marmer terdengar bersahut-sahutan di sepanjang koridor X IPS. Semakin mendekat lalu memasuki kelas X IPS 2.
"Pagi, anak-anak!" sapa wanita paruh baya itu sambil melenggang membawa setumpuk hasil latihan Matematika.
Murid-murid di dalam ruangan sontak menyahut tak kalah semangat. Kecuali, gadis berambut sebahu yang sedang menunduk enggan melihat ke arah meja guru.
Hana sadar. Sebentar lagi akan menjadi mimpi buruk terbesarnya.
Gadis itu seketika meremas sisi rok abu-abu kotaknya cemas."Ibu sudah periksa hasil latian kalian semua."
Degup jantung Hana kontan memompa puluhan kali cepat. Pikirannya dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan terburuk yang sebentar lagi akan terjadi. Ia mengigit bibir bagian bawah, panik.

KAMU SEDANG MEMBACA
All the Bad Things
Fiksi Remaja[COMPLETE] Dalam hidup, selalu ada yang namanya jatuh, bangun, bangkit, patah, hilang, luka, tumbuh, kecewa, bahagia, dan gagal. Tiap-tiap insan akan mengalami fase tersebut. Tinggal bagaimana cara mereka untuk tetap bertahan. Sebab, memang begitu m...