4. Tarumania

438 92 53
                                    

Seperti biasa, hari terkhir MPLS hanya diisi dengan rangkaian kegiatan demo ekskul serta penulisan kesan dan pesan untuk panitia MPLS. Akan tetapi, baik Inggita maupun Isyana, tak ada yang peduli dengan kegiatan tersebut.
Mereka memilih berpura-pura sakit agar bisa menghabiskan waktu di UKS. Selain itu, tentu saja untuk menghindari pelaksanaan demo ekskul di lapangan depan yang sangat menguras emosi.

Bisa bayangkan kondisi demo ekskul SMA Tarumanegara sekarang?

Isyana sampai geleng-geleng kepala tak habis pikir.

Untung saja, dirinya dan Inggita sekarang telah berbaring nyaman di ranjang UKS tanpa perlu berdesak-desakan dengan peserta MPLS lain.

"Asli, gue nggak kebayang kalo kita ada di luar sana, Git," gumam Isyana membuka percakapan.

Brankar yang posisinya bersebelahan dengan posisi Inggita membuatnya tak perlu berisik ketika memulai obrolan.

Inggita mengiakan. Sorot elang gadis tersebut menatap kerumunan peserta MPLS di lapangan depan yang kebetulan berhadapan langsung dengan jendela UKS.

"Parah, sih, Syan," gidik Inggita, ngeri. "Udah tau lapangan sekolah sempit banget, pake gegayaan ngadain demo ekskul outdoor." Jiwa kenyinyiran Inggita selalu terpancing ketika membicarakan hal-hal buruk tentang sekolahnya sendiri.

"Bener banget." Isyana mengangguk, menyetujui. Kepala gadis berkucir kuda itu menoleh melirik lawan bicaranya. "Udah tau sekarang panas, lapangan sempit, gerah, desak-desakan sama anak kelas 10 lain pula. Luntur, dah, luntur, tuh, bedak lima kilo punya si cabe."

Keduanya sontak terbahak kencang.

Setidaknya, meskipun benci berada di sekolah ini, Isyana memiliki Inggita. Gadis tomboy yang ia temui di barisan apel pembukaan acara MPLS. Saat itu, Isyana dongkol setengah mati ketika mengingat kegagalannya di SMAN 8 dan Andalas High School. Gadis berkucir kuda tersebut nyaris tak menggubris semua perkataan sang ketua OSIS selama apel berlangsung, hingga tiba-tiba sebuah gumaman bernada satiris menyeruak dari gadis samping itu. Gumaman yang kurang lebih berisi kebencian ketika harus terjebak ke SMA Tarumanegara tersebut menyita atensi Isyana.

Ternyata, ia tak sendirian. Dia punya teman senasib dan sepenanggungan. Ketika menilik tanda pengenal pada gadis tersebut, Isyana akhirnya menemukan seseorang yang sepertinya asyik diajak berteman. Namanya Inggita Liana.

____

Sudah tak terhitung berapa kali Inggita menyebutkan nama-nama hewan di kebun binatang ketika mereka berdua terpaksa menyaksikan pertunjukan ekskul terfenomenal---menurut panitia MPLS---ketika pulang sekolah.

Inggita dan Isyana pikir, mereka berdua akan lolos dari kegiatan demo ekskul setelah berpura-pura sakit di UKS. Akan tetapi, ekspetasi mereka tidak bisa diajak berkompromi sesuai realita.

Tepat setelah bel pembelajaran berakhir, alih-alih jam pulang sekolah, justru seluruh peserta MPLS diperintahkan menuju lapangan lagi karena akan ada pertunjukan dari ekskul Tarumania. Mau tak mau, Isyana dan Inggita menurut meski enggan setengah mati berdesak-desakan di tengah lapangan.

"Kami ini Tarumania. Kami selalu dukung SMATANIA."

Nyanyian lagu kebanggaan supporter SMA Tarumanegara mulai bergema, diiringi tabuhan drum serta asap warna-warni mengudara dari smoke bomb.

"Liat, deh, Syan, koor Tarumania bajunya ijo-ijo. Ewh. Mau jadi cosplay bolu pandan?" celetuk Inggita, sarkas. Isyana sontak terkekeh kecil. Jika ingin menggibah keburukan SMA Tarumanegara, ajaklah Inggita Liana. Dijamin suasana akan semakin panas.

Notabene anak SMA Tarumanegara barbar, maka tak heran ketika ada pertunjukkan Tarumania kadar kerusuhannya meningkat berkali-kali lipat. Mereka saling dorong, berteriak ricuh, bahkan berjoget layaknya cacing kepanasan---begitu kata Inggita----serta tindakan rusuh lainnya. Akibat hal tersebut, tubuh Isyana dan Inggita jadi terdorong di tengah-tengah lautan manusia. Seseorang yang tak dikenal tanpa sengaja pula menendang pantat Inggita lantaran gerah berjubelan dengan siswa lain.

All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang