38. Pengakuan

165 49 18
                                    

Alasan utama Inggita dan Isyana mencetak pamflet Good Things di sekolah ialah penghematan biaya pengeluaran. Di sini jauh lebih murah.
Print out pamflet di TU SMA Tarumanegara hanya dikenakan biaya lima ratus rupiah untuk satu kali cetak berwarna. Sedangkan jika di luar, ia butuh dua kali lipatnya. Tentu hal tersebut membuat Isyana dan Inggita tidak perlu merogoh kocek lumayan dalam tatkala menyerahkan nominal uang kepada ibu TU.

"Makasi," ucap Isyana sambil tersenyum ramah ketika menerima hasil cetak pamflet Good Things.

Mengangguk singkat, pegawai tata usaha itu kembali melanjutkan aktivitasnya yang lain.

Mereka kemudian melanjutkan langkah menuju kelas X IPA 1. Inggita berjalan bersisian di samping Isyana dengan sorot mata mengedar ke sepanjang koridor. Sunyi. Maklum, jam pembelajaran kelima baru saja bergema. Otomatis, koridor sepi dari siswa yang berlalu lalang. Lantaran mati bosan menghadapi jam kosong di kelasnya, maka kedua gadis tersebut memutuskan mencetak pamflet Good Things sekarang juga.

Tiba-tiba, dari arah jam dua belas, seseorang berteriak memanggil nama Inggita sambil melambaikan tangan.

Selayaknya orang normal lain ketika disapa, gadis berambut pendek itu menoleh ke sumber suara. Alisnya seketika bertaut, bibirnya refleks menyoal. "Kenapa?"

Cowok berambut jabrik itu mendekat ke arah Inggita. Seringai jahilnya merekah. Ia mengenali sosok itu. Namanya Delon. Teman sekelasnya dulu bersama Duta di tahun kedua SMP. Sejak kelas sembilan mereka memutuskan hubungan. Tetapi, baru-baru ini ia mendengar kabar dari grup alumni apabila Delon masuk ke aliansi Lawan STM 05. Jika sudah begitu, haram hukumnya bagi Inggita menunjukkan sikap ramah.

"Temen lo bawa apaan, tuh, Git?" Setelah berhadapan dengan lawan bicaranya, Delon menunduk. Mengamati lebih jelas setumpuk kertas berwarna biru langit yang didekap Isyana.

Masih dengan tampang judesnya, Inggita berkomentar, "Kepo amat jadi orang. Apa urusan lo?"

Alih-alih tersinggung terhadap respon yang diberikan gadis berambut sebahu tersebut, Delon justru terkekeh lirih. "Galak amat, sih, nggak berubah-berubah dari dulu."

Melipat kedua lengan di depan dada, ia pun mencebik sebal. "Udah, deh, to the point aja. Maksud lo manggil-manggil apaan? Kalau mau bujuk supaya gue gabung geng tawuran itu ogah, ya!"

"Ih, kenapa bawaan lo negatif thinking mulu waktu ketemu gue, sih. Heran."

Memutar bola matanya malas, Inggita berujar dingin. "Bodo! Lo liat gue peduli?"

"Astaga, Gita, gue nggak ada niatan bujuk lo supaya gabung aliansi Lawan STM 05. Gue cuma penasaran sama apa yang dipegang temen lo itu." Kini, atensi Delon terpatri pada Isyana. "Ini apa?"

Isyana yang sedari tadi memasang tampang jutek kebiasannya, lantas menjawab pertanyaan Delon. "Pamflet Good Things."

"Good Things?"

"Iya. Produk boba milk tea gue sama Gita," sahut gadis berkucir kuda tersebut sekenannya.

"Boleh gue minta pamfletnya 20?"

Mendengus sebal, Inggita menyahut, "Buat apa lo minta banyak amat?"

"Yaelah, Gita. Ya buat disebarin ke temen-temen, lah."

Mencibir sejenak, Inggita menggeleng tegas.

Delon refleks mendesah panjang. "Buset. Kenapa pikiran lo buruk mulu sih kalo lagi berhadapan sama gue. Kagak di SMP, kagak di SMA, sama aja."

Tangan Inggita sontak menoyor kepala Delon gemas. "Heh, mana ada ceritanya seorang Delon Raditya baik ke orang lain. Sejak lo nanyain ukuran bra Bu Asty di hari pertama sekolah, gue udah nggak percaya, Lon. Elo? Baik? Jadi keajaiban dunia."

All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang