32. Pengamen

201 60 22
                                    

Pembahasan di grup Line Good Things seolah tampak jauh lebih menarik daripada mendengarkan celotehan Bu Nurli mengenai teori penghitungan vector dalam mata pelajaran Fisika.

Atensi gadis berkucir kuda tersebut terpaku pada layar ponsel di kolong meja. Sesekali, cekikikan gelinya meluncur tatkala Duta kembali berulah dengan chat receh di grup. Sementara jemarinya bergerak bebas di bawah kolong meja mengetikkan pesan balasan. Meskipun persis di sebelahnya ada Inggita, tetapi gadis berambut pendek itu memilih tidur di kelas menggunakan alibi buku paket fisika untuk menutupi wajah bantalnya.

DutaMa
Ntar pulang sekolah jangan lupa kumpul dulu guys. Di mana, ya, enaknya?

Kelvien.
Ke rumah Hana lagi juga boleh.

Hana Risjad
Mau bahas ke rumahku gapapa kok. Nanti anggep aja rumah sendiri, ya. ^^

Isyana Isyan
Berangkatnya bareng-bareng, dong. Lagian samaan juga bubaran sekolah kita jam tiga sore. Ntar kumpul di mana gitu sebelum berangkat ke rumah Hana.

DutaMa
S

etuju! Supaya lebih enak gitu nggak kepencar-pencar. Sebenernya juga gue agak lupa sama jalanan rumah Hana.

Hana Risjad
Janjian di halte deket AHS gimana?

Hana Risjad
Sekolah kita juga saling berdekatan. AHS nggak jauh-jauh dari STM 05 sama Tarumanegara, kan?

Hana Risjad
Nah, terus dari AHS nggak sampe dua kilometer sampe ke komplek perumahanku. Gimana? Pada setuju, nggak?

Kelvien
Bener banget, tuh, Han.

Ketika jemari Isyana tengah bersiap untuk mengirimkan pesan balasan, tiba-tiba dehaman berat dari seseorang refleks membuatnya menjauhkan ponsel, menyurukkan benda pipih persegi panjang tersebut ke dalam kolom meja agar tidak ketahuan. Isyana menengadah. Sorot matanya beradu degan tatapan tajam penuh penghakiman dari seseorang.

Gadis itu meringis salah tingkah. Cengiran lebarnya sebagai pertanda perasaannya sedang tidak baik-baik saja.

"Udah merasa pinter, ya, main hape di pelajaran Ibu?" desis guru honorer tersebut, sinis. Dari posisi dekat papan tulus, wanita paruh baya itu memicingkan mata, memerhatikan Isyana dari atas sampai bawah tampak menghakimi. Tangannya kemudian melempar sebuah spidol whitemaker yang dengan sigap ditangkap Isyana.

Gadis berkucir kuda itu menatap spidol tersebut penuh tanda tanya. Kedua alisnya sontak bertaut. "Maksudnya apa, Bu?"

Bu Nurli mengulas senyum asimetris. Wanita paruh baya itu melipat kedua tangan di depan dada. "Kalau main hape di pelajaran Ibu, berarti tandanya sudah pinter, kan? Coba kerjakan contoh soal nomer tiga di papan." Nada bicara Bu Nurli terdengar meremehkan di telinga Isyana.

Tak suka direndahkan dengan orang lain, gadis berkucir kuda itu menerima tantangan guru Fisika yang merangkap sebagai wali kelas tersebut bersemangat.

Bu Nurli belum tahu kemampuannya, ya?

Walaupun Isyana terkesana acuh tak acuh terhadap materi vektor kali ini, tetapi indra pendengarannya masih berfungsi dengan baik untuk merekam seluruh penjelasan di otaknya.
Maka dari itu, tentu saja Isyana paham bagaimana cara menghitung vektor resultan meskipun tatapan matanya tersita pada grup Line Good Things.

Itulah kelebihan istimewa Isyana omong-omong. Ia mampu menangkap penjelasan guru hanya dengan sekali mendengarkan tanpa melihat ke arah papan tulis sekali pun. Otaknya mampu memproses segala informasi tak memperlukan waktu lama.

All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang