43. Damai

192 50 22
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu Inggita kini datang juga. Dengan perasaan berbunga-bunga yang membuncah, gadis yang kerapkali dikira seorang laki-laki itu mengendarai sepeda motor matic-nya ke suatu tempat. Lokasi yang sedari dulu ingin ia kunjungi tetapi terhalang kondisi ekonomi.

Namun, Inggita tak perlu risau lagi karena laba dari hasil penjualan Good Things beserta uang tabungannya mampu menambal biaya VIP rumah sakit mama. Lagi pula, hari ini Good Things baru akan dibuka kembali jam tiga sore, sehingga gadis berambut sebahu tersebut mampu memanfaatkan waktu terlebih dahulu untuk menjengguk mama sekaligus mengunjungi makam papa sebagai ritual rutin setiap minggunya. Ia akan bercerita banyak di depan makam sosok panutannya itu dengan segala pengalaman yang ia alami minggu ini.

Tak memakan waktu lama bagi Inggita untuk sampai ke lokasi tujuan. Seusai gadis tersebut memarkirkan sepeda motor di parkiran lantai bawah tanah, ia beranjak cepat untuk menuju meja adminitrasi. Kemudian, selepas mengurus adminitrasi beserta menyetorkan sejumlah biaya yang diperlukan, Inggita segera menarik langkah menuju ruangan yang selama ini membuat tembok pertahanannya hancur berkeping. Sebelum memutar kenop pintu, ia memejamkan mata terlebih dahulu. Menahan segala pilu dan uraian keputusasaan.

Menghela napas panjang, Inggita memberanikan diri menemui masa lalu terbesarnya.

Lo pasti bisa, Gita. Jangan nangis. Nggak boleh keliatan lemah.

Mulutnya komat-kamit merapal berbagai doa. Instingnya bekerja cepat untuk men-stimulus diri sendiri agar terlihat baik-baik saja. Inggita benci tampak rapuh di depan mamanya. Ia menyukai kepribadian yang tomboy serta pemberani seperti di depan teman-teman.

Bukankah selama ini ia memang baik-baik saja?

Sejak insiden perusahaan almarhum papanya gulung tikar akibat ditipu rekan kerja, berlanjut beliau yang terkena serangan jantung secara mendadak di lokasi kejadian, ditambah mamanya mulai kehilangan akal sehat, jangan lupakan pula dirinya juga harus berjuang mati-matian mempertahankan hidup. Ia masih baik-baik saja. Ya, baik-baik saja.

Keluarganya hancut lembur. Kebahahiaannya direnggut semesta hingga tak tersisa. Inggita sadar hal itu. Ia, mama, dan papa bagaikan keramik porselen yang retak dan tak dapat dipulihkan kembali. Gadis itu memilih menekuni taekwondo sebagai pelarian untuk menemukan rumah yang telah lama hilang. Menyibukkan diri bersama serangkaian latihan dan jadwal turnamen, sehingga melupakan mimpi buruk terbesarnya kala ini.

Ia ingin lari kenyataan jika papa meninggal, mama masuk ke rumah sakit jiwa, rumah mewahnya berganti menjadi rusun kumuh, serta nomer telponnya yang senantiasa diteror oleh mantan pacar papa yang sudah beristri untuk menawarkan bantuan.

Setelah menyiapkan hati agar tidak kembali retak, Inggita memasuki ruangan bercat putih gading itu dengan sorot nanar. Kekalutan menyerngap batinnya.

Tidak. Jangan. Ia akan mencoba baik-baik saja. Seharusnya memang begitu.

Langkah gadis berambut pendek tersebut melangkah lirih menuju seorang wanita paruh baya yang sedang meringkuk di sudut ruangan dengan tatapan kosong.

Hati Inggita seketika terkoyak. Tubuhnya bergetar hebat menahan ledakan emosi. Tidak. Ia engga terlihat lemah. Gadis tersebut menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat. Kristal bening yang sangat ia benci itu kink menggantung di pelupuk matanya. Sekali berkedip, air mata akan meleleh.

"Mama...," panggilnya lirih sarat keputusasaan.

Namun, tak ada tanggapan. Tentu saja. Hanya desau angin pendingin ruangan yang membalas ucapannya.

Ia kemudian kembali melangkah. Mengikis jarak terhadap seseorang yang sangat ia rindukan sekaligus menjadi mimpi buruk terbesarnya.
Setelah posisinya persis di sebelah wanita tersebut, Inggita merosot. Gigitan di bibir bagian bawahnya kian menguat. Menyebabkan setitik darah segar mengalir dari sana.

All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang