Baru saja Inggita mendaratkan tubuh di kursi, Isyana tiba-tiba memborongnya dengan berbagai pertanyaan.
"Eh, lo beneran tetanggaan sama Duta?"
"Demi apa lo, Git, se-SMP sama dia? Sekelas pula."
"Deket nggak lo sama Duta?"
Inggita mendesah berat. "Satu-satu, dong, Syan. Gue baru dateng juga." Gadis berambut pendek itu meletakkan tas ranselnya di kolong meja. Kemudian, meraih buku PR Fisika yang belum ia sentuh sama sekali. Padahal, hari ini tugas tersebut akan dikumpulkan di jam pertama.
"Oke," balas Isyana seraya menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Inggita. "Eh. Lo belom selesei ngerjain PR Fisika? Nih, contek punya gue aja." Menyadari teman sebangkunya yang belum mengerjakan tugas Fisika sama sekali, Isyana menggaet buku tugas miliknya lalu menyerahkannya kepada Inggita.
"Peka banget, sih, lo," sahut lawan bicaranya seraya terkekeh pelan. Ia pun mulai berkutat menyalin angka-angka yang tertera di buku Fisika Isyana.
"Jadi, gimana?"
"Apanya?" tanya Inggita tanpa melepaskan tatapan dari buku tugas.
Isyana berdecak. "Itu ... yang tadi. Lo kenal sama Duta?"
Gerakan gadis berambut pendek yang sedang mengerjakan PR Fisika itu seketika terjeda. Ia menggigit bibir bagian bawahnya, kebiasaan ketika sedang mengingat seseorang. Sedetik kemudian, seakan baru menyadari sesuatu, ia berseru gamang. "Duta ... Duta Mahardika maksud lo?"
"Mana tau gue nama lengkapnya." Isyana mengendikkan bahu tak acuh. "Duta yang katanya sekelas sama lo waktu SMP."
"Ah, iya, bener. Duta Mahardika berarti." Hening sejenak sebelum Inggita refleks melayangkan tatapan penuh rasa ingin tahu kepada teman sebangkunya. "Emang kenapa? Lo kenal sama dia?"
Seulas senyum tipis terpatri di bibir Isyana. "Kenal."
"GIMANA BISA!?" sahut Inggita syok seraya mengarahkan atensi kepada lawan bicaranya. Gerakan tangannya yang sedang menyalin angka-angka di buku Fisika konstan terjeda.
Isyana akhirnya menceritakan pertemuan pertama dengan Duta ketika tawuran pelajar SMA Tarumanegara dengan STM 05, serta pertemuan tak terduga kedua di toserba dekat rumahnya.
"Dunia sempit banget, Syan," komentar Inggita tidak menyangka setelah mendengarkan cerita dari Isyana.
"Lo deket sama dia waktu SMP?"
"Nggak seberapa." Inggita mengendikkan bahu singkat. "Kami sekelas, tapi cuma setahun. Terus, pas kelas IX, udah enggak lagi. Gue masuk IX-F, dia IX-A."
"Kenapa bisa nggak deket?"
Bola mata Inggita bergerak ke sembarang arah, berusaha mengingat-ingat. "Dia itu badung banget, Syan. Pentolan sekolah yang hobinya keluar-masuk ruang BK. Yaelah, walaupun gue juga sering dipanggil BK gara-gara berantem sama cabe-cabean sekolah, seengaknya gue nggak sesering dia."
"Kalo di kelas, ya, biasa aja. Dia selalu nongkrong sama temen se-geng-nya. Nggak sama anak-anak biasa kayak gue gini."
"Tapi, Git, waktu ketemu sama Duta, dia nggak seburuk yang lo ceritain," bela Isyana menyadari hal kontradiktif.
"Gue rasa ... Duta anak baik-baik. Lingkungan toxic aja yang mampu mengubah dia jadi kayak gitu.""Tunggu-tunggu, kok, lo jadi perhatian gitu sama Duta?" tanya Inggita sambil menautkan kedua alisnya. Gadis berambut pendek itu memicingkan mata merasa curiga terhadap sikap Isyana. "Jangan-jangan lo...."
"Dih. Apaan, sih. Enggak, ya!" elak Isyana, cepat. Wajahnya tiba-tiba semerah kepiting rebus.
Bukan. Bukan karena Isyana memang jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Duta. Hanya saja, ia risih jika dituduh menyukai lawan jenis. Apalagi, tuduhan itu tidak benar.
"Lah, terus? Ngapain kepoin Duta?" goda Inggita sambil menyeringai jahil.
"Gue cuma kasian aja sama dia. Beneran, deh, Git. Lingkungannya nggak baik banget. Gue yakin seratus persen, sebenernya Duta nggak sebadung itu kalau lingkungannya positif."
"Heleh, ngeles----"
Prangg
Percakapan Inggita dan Isyana sontak mengantung di udara tatkala sebuah lemparan bola voli dari arah lapangan depan memecahkan jendela kelas.
Seluruh penghuni X IPA 1 seketika memekik kaget.
Tak terkecuali, Inggita yang menahan napas tatkala pecahan kaca jendela tersebut menggores pergelengan tangan Isyana. Menyebabkan darah segar mengucur dari sana. Posisi bangku mereka yang berdekatan dengan jendela memudahkan pecahan itu melukai keduanya.
Namun, kali ini korbannya hanya Isyana.
Sesuatu bergejolak di benak Inggita tanpa bisa diredam. Terlebih, ketika melihat goresan luka cukup dalam di pergelangan tangan Isyana. Sesuatu itu menyulut amarahnya hingga ke ubun-ubun. Entah kenapa, ia paling tidak bisa tinggal diam saat ada seseorang yang berani mengusik teman dekatnya.
"Monyet! Cari mati, nih, orang!"
Dengan tangan terkepal kuat dan gigi bergemelatuk menahan amarah, Inggita bangkit dari kursi sambil menyambar cepat bola voli sialan tersebut. Ia beranjak menuju lapangan depan diiringi siswa lain X IPA 1 yang mengekor di belakang tidak terima jendela kelas mereka dirusak.
"HEH, MONYET! SIAPA YANG BERANI-BERANINYA LEMPAR BOLA LAKNAT INI KE KELAS X IPA 1!?" teriak Inggita geram seraya membanting bola voli tersebut. "BOSEN IDUP LO, NYET!?"
Seperti yang kalian duga, perkelahian adu bogem itu tak terelakkan.
Siapa, sih, yang berani mengusik kehidupan Inggita Liana? Apalagi sampai menyakiti teman dekatnya.
____
Lo berubah, Ta.
Kenapa lo nggak kayak biasanya, sih?
Ke mana Duta yang dulu.
Lo nggak solid, Ta! Lo nggak setia kawan! Ninggalin temen-temen gitu aja.
Gue kecewa sama lo, Duta.
Pikiran-pikiran itu menggantui benak seorang pemuda berahang tegas tersebut dua hari belakangan. Mengganggu waktu tidur normalnya hingga jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Menyerah lantaran insomnia, Duta beringsut dari tempat tidur lalu melenggang ke jendela kamar. Tak lupa, cowok itu meraih satu batang rokok serta pemantik api dari nakas meja.
Kebiasaan ini mulai Duta lakukan sejak kelas 1 SMP, akibat pengaruh buruk lingkungan pergaulannya. Mereka memberi tahu jika beban hidup akan terangkat bersamaan dengan kepulan asap yang mengudara walau sesaat.
Duta menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengerluarkan asap beracun itu perlahan. Lega.
Beban pikiran tentang perubahan sikap teman-temannya yang menjauh akibat insiden tawuran pelajar lenyap begitu saja.
Lalu, potongan percakapan dengan Isyana menciptakan kilas balik.
Menurut gue, solidaritas itu saat lo selalu ada buat dia baik suka maupun duka, saling support untuk hal-hal positif, dan sama-sama menghindari pengaruh negatif.
"Apa iya selama ini gue tersesat?" gumam Duta kepada diri sendiri.
"Gue cuma kecewain mereka sekali karena nggak mengikuti strategi tawuran. Tapi, mereka seolah-olah nyalahin gue sepenuhnya atas kekalahan ini. Pake ngatain nggak solid, pula. Masa iya kudu ngerelain mata gue kecolok pecahan kaca kalo tetep berada di lokasi tawuran?"
Duta menyadari jawabannya tidak.
Benar kata Isyana, egois terkadang dibutuhkan untuk diri sendiri. Batinnya seraya mengangguk membernarkan.
Sebuah bola lampu tiba-tiba menyembul di atas kepalanya. Sebuah ide cemerlang melipir menciptakan seulas senyum lebar di wajah pemuda tersebut.
Tanpa berpikir dua kali, ia segera bangkit meraih kunci sepeda motor di nakas meja. Sedikit berlari menuju garasi rumah untuk menyalakan sepeda motor.
Ada satu tempat yang harus ia datangi sekarang juga.
______

KAMU SEDANG MEMBACA
All the Bad Things
Novela Juvenil[COMPLETE] Dalam hidup, selalu ada yang namanya jatuh, bangun, bangkit, patah, hilang, luka, tumbuh, kecewa, bahagia, dan gagal. Tiap-tiap insan akan mengalami fase tersebut. Tinggal bagaimana cara mereka untuk tetap bertahan. Sebab, memang begitu m...