22. Ganjil

215 71 16
                                    

Keabsenan Inggita hari ini membuat Isyana mengerutkan dahi heran tatkala memasuki kelas. Pasalnya, gadis berambut pendek tersebut membolos tanpa keterangan. Bahkan, nomernya pun tak bisa dihubungi.

Isyana berdecak. Sekali lagi, mencoba menghubungi Inggita. Tetapi, untuk kesekian kali yang mengangkat panggilannya justru suara sang operator.

Lelah karena tak mendapat jawaban, gadis berkucir kuda tersebut meletakkan ponselnya di kolong meja. Sorot matanya menyurusi se-penjuru ruangan X IPA 1. Seperti biasa, aktivitas para siswa di kelas yang katanya unggulan ini tidak mencerminkan sikap selayaknya cap baik tersebut, justru kebalikannya. Padahal, di dalam ruangan ini ada guru mapel Kimia. Akan tetapi, masih ada juga yang tertidur di kelas, menggosip, celometan menggoda guru, bahkan mengupas mangga hasil curian di bangku paling belakang.

Isyana menghela napas panjang.

Inikah yang disebut kelas unggulan!?

Sekali lagi, ia mendesah berat. Mau bagaimanapun labelnya, jika sekolahnya di SMA Tarumania, semua tampak tak jauh berbeda.

Ekor mata gadis itu kemudian mengerling ke kursi kosong yang biasanya ditempati seorang gadis berambut pendek. Selama beberapa jam ke depan, ia pasti merasa kesepian lantaran keabsenan gadis tersebut.

Jika boleh jujur, Isyana sebenarnya enggan menjalin interaksi dengan siswa lain di kelas ini kecuali Inggita. Entah kenapa, batinnya mengatakan kurang sreg jika bersosialisasi bersama mereka. Maka dari itu, ketika Inggita tidak masuk sekolah, Isyana otomatis seorang diri, lalu memilih bergeming di bangkunya seraya mendengarkan musik melalui headset.

Tidak hanya sendirian di kelas, ia juga seorang diri ketika di kantin pada waktu istirahat pertama. Maka, jangan heran tatkala mendapati gadis berkucir kuda tersebut mematung di meja panjang kantin tanpa kehadiran sosok gadis berambut sebahu yang biasanya ke mana-mana selalu berdua.

Isyana mengedarkan pandangan ke seisi kantin SMA Tarumanegara. Tampak penuh sesak oleh murid berjubelan mengantri makanan. Lalu, tatapannya terjatuh pada segerombolan aliansi Lawan STM 05 di sudut area yang sedang menyanyikan lagu dangdut secara rusuh. Salah satu dari mereka ada yang tanpa sengaja membalas tatapan Isyana.

Mampus.

Gadis berkucir kuda itu merutuk sesal. Dengan cepat, ia mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Bisa gawat jika ada salah satu dari mereka ada yang memergoki dirinya seorang diri di kantin. Terlebih, tanpa kehadiran Inggita. Tidak akan ada yang membela gadis tersebut selain Inggita jika mereka macam-macam.

Isyana bangkit, perasaannya mendadak was-was bila memaksakan diri bertahan lebih lama di kantin. Gadis itu segera meraih air mineral di atas meja sejurus kemudian berlalu dari sana.

Akan tetapi, sebelun rencananya berhasil, kehadiran aliansi Lawan STM 05 kontan mengurungkan niatnya. Langkah gadis tersebut dihadang dari depan, belakang, bahkan samping kanan dan kiri. Isyana refleks mematung. Posisinya terdesak. Dia terperangkap.

"Buru-buru amat, Sayang," celetuk  salah satu dari mereka jahil.

Isyana sontak mendengus. Walaupun sebenarnya ia juga takut dihadang oleh para berandal sekolah tersebut, akan tetapi gadis berkucir kuda itu mempertahankan raut dingin dan tak bersahabat.

"Sini dulu, dong, di kantin," goda si cowok tanpa atribut---yang ia yakini seseorang yang mengajak Inggita bergabung ke STM 05.

"Minggir lo semua," desis Isyana dingin seraya melayangkan wajah datar.

"Widih, judes amat, sih, temennya Gita," imbuh cowok berambut jabrik sembari mencolek dagu Isyana.

Isyana berdecak, tangannya segera menepis tindakan cowok berambut jabrik tersebut secara kasar.

"Minggir, nggak, lo pada?" ulangnya sekali lagi dengan nada meninggi. Meskipun takut, ia tidak boleh menunjukkan sikap terintimidasi ketika berhadapan dengan musuh. Itu, sih, namanya bunuh diri. Isyana belajar hal tersebut dari Inggita.

"Tunggu dulu, dong." Gadis berkucir kuda tersebut merasakan pergelangan tangannya dicekal oleh seseorang. Ia tersebut refleks mencebik.

"Lepasin, nggak?" sentak Isyana seraya berusaha meloloskan diri. "Lo nggak tau malu, ya, diliatin anak-anak di kantin? Eh. Lupa. Urut malu lo 'kan udah putus."

Alih-alih melepaskan pegangannya, cekalan di pergelangan tangan Isyana justru semakin menguat. Terasa mencekram hingga menyebabkan gadis berkucir kuda itu meringis kesakitan.

"Denger, ya, bilang ke temen lo si Gita supaya  gabung ke aliansi Lawan STM 05. Lo bujuk atau gimana gitu, kek." Setelah mengatakan hal tersebut, gerombolan preman sekolah tersebut segera berlalu dari kantin seraya memperingatkan dirinya melalui sorot bengis.

"Cih. Nggak sudi," gumam Isyana, gusar. Atensinya tersita pada bekas kemerahan di telapak tangannya akibat cengkraman yang terlalu kuat. "Monyet!" umpat gadis itu tanpa sadar mengikuti gaya Inggita.

Sepertinya, terlalu lama bergaul dengan Inggita, membuat Isyana secara otomatis menirukan setiap hal yang menjadi kebiasaan gadis tomboy tersebut.
______

Keesokan paginya, lagi-lagi Isyana mendapati keabsenan Inggita di sekolah. Sama seperti sebelumnya, ponsel gadis itu juga tidak bisa dihubungi. Nomornya tak aktif.

Ia mendadak khawatir.

Inggita ke mana?

Kursi di sebelahnya masih kosong tak berpenghuni.

Jika hari biasanya, akan terdengar celotehan sinis dari gadis tomboy itu mengenai cabe-cabean sekolah serta  keburukan SMA Tarumanegara lain. Jika hari biasanya pula, ketika jam kosong tiba akan ada gadis berambut pendek yang menculiknya untuk tidur siang di UKS.

Namun, saat ini bukan lagi biasanya.

Bangku di sebelah gadis berkucir kuda itu sunyi tak berpenghuni. Ia pun menghela napas panjang. Tiba-tiba, ingatannya terlempar pada potongan kejadian ketika Inggita mendadak cemas sesaat setelah mengangkat telepon dari seseorang.

Apakah hal tersebut yang menjadi pemicu utama keabsenan Inggita dua hari belakang?

Berani bersumpah, dirinya tak pernah melihat Inggita se-cemas itu sebelumnya. Bahkan, ketika berkelahi pun, ia biasa saja. Dipanggil guru dan diadili di ruang OSIS, Inggita tetap tenang tanpa riak. Akan tetapi, terdapat pengecualian  untuk dua yang lalu.

Jika begitu, bisa dipastikan masalah yang menimpa Inggita adalah masalah berat. Hingga menyebabkan gadis itu tidak masuk sekolah. Tebersit di pikiran Isyana untuk menemui Inggita hari ini.

Akan tetapi, sangat tidak mungkin kalau hanya ia seorang diri bertandng rusun gadis tersebut mengingat aksi nekatnya mengumpat 'monyet' kepada ibu-ibu di sepanjang anak tangga.

Dia harus mengajak satu orang lagi untuk menemani. Tatkala pikirannya sedang berkelana jauh mencari seseorang yang tepat, nama Duta Mahardika menelusup tanpa disengaja.
Senyum cerahnya kontan merekah.

Isyana Isyan
Ke rumah Gita, yuk, sepulang sekolah.

Isyana Isyan
Penting. Anterin gue.

Tidak menunggu lama, pesannya mendapat balasan.

DutaMa
Ngapain?

Isyana Isyan
Anterin aja pokoknya.

DutaMa
Gue jemput lo di mana?

DutaMa
Elah. Lo sendiri yang bilang ke gue jangan jemput ke depan gerbang sekolah lo kalo nggak mau setor nyawa.

Isyana Isyan
Lo pake jaket, kan?

Isyana Isyan
Tungguin gue di gang kelinci deket  Tarumanegara. Gue baru tau kalo di sana sepi anak sini.

Balasan 'oke' dari Duta menciptakan seulas senyum lebar di bibir Isyana.

Tunggu, Git, tunggu. Gue bakal datang. Selama ini, lo udah terlalu sering jadi tempat gue bersandar berbagai luka. Sekarang, waktunya bagi gue menjadi tempat pendengar yang baik.

_______


All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang