27. Diskusi

204 67 21
                                    

Baru saja Inggita memasuki kamar mandi wanita, Isyana memborongnya dengan berbagai pertanyaan.

"Gimana-gimana? Beres?"

"Mereka nasibnya gimana sekarang?"

"Tadi lo apain aja, Git?"

"Takut, nggak, mereka sama lo?"

Menutup daun telinganya gerah, Inggita mendengus. "Satu-satu, dong, Syan."

Gadis berkucir kuda itu sontak menyeringai. "Gue cuma penasaran sama ketiga monyet tadi."

Sebagai tanggapan, Inggita hanya memutar bola mata malas lalu berjalan mendekati Hana yang sedang terisak di depan wastafel. Gadis berambut pendek itu refleks merapikan rambut  berantakan Hana yang basah kuyup serta berbau tidak sedap.

"Sabar, ya. Mereka udah gue kasih pelajaran. Lo tenang aja, oke? Gue ancem juga supaya nggak gangguin lagi. Nanti kalo berulah, laporin aja ke gue," sahut Inggita tulus turut bersimpati.

"Makasi banget," ucap Hana sungguh-sungguh dengan suara bergetar menahan tangis. Perasaannya menghangat. Selama ini, ia tak pernah merasa dimanusiakan oleh teman-temannya. Dalam 16 tahun terakhir, ia selalu terperangkap dalam topeng kemunafikkan. Tidak ada yang benar-benar tulus berteman denganya, kecuali Kelvien.

Isyana berjalan menghampiri mereka berdua. Gadis berkucir kuda itu lantas memberikan dukungan moril kepada Hana berupa bantuan membersihkan wajah gadis tersebut dari celometan lipstik.

"Udah-udah, jangan nangis lagi, ya. Gue udah sempet foto keadaan lo tadi. Kalo mereka fitnah, ancem balik sama kartu AS itu." Isyana berusaha menenangkan gadis ringkih di sebelahnya. Ia melayangkan tatapan penuh arti kepada Inggita. Seolah mengirimkan sinyal yang hanya diketahui oleh mereka berdua.

"Aku nggak tau kalau kalian tadi nggak dateng ... nasibku bakal gimana." Hana memaksakan seulas senyum tipis. Walau batinnya berkata lain, tetapi ketika di depan orang asing ia harus berkamuflase. "Makasi, ya, sekali lagi. BTW, kalian hebat banget berani sama mereka."

Di luar dugaan, tawa Inggita sontak berderai. "Cih. Ngapain juga gue takut sama cabe-cabean gopek kayak begitu."

Isyana menimpali, "Ah, lo, sih, belom kenal Inggita Liana. Sekelas preman sekolah aja diembat abis sama dia, apalagi cuma ngelawan cabe-cabean gopek. Halah, hal kecil itu, mah."

Decak kagum refleks terlontar dari bibir Hana tatkala indra pengelihatannya mulai mengamati Inggita yang tengah sibuk membantu mengeringkan rambutnya menggunakan tisu gulung.

"Salut aku sama kalian. Andai aku bisa seberani itu...."

"Nggak, nggak, lo pasti bisa berani!" sela Inggita cepat penuh keyakinan. "Selama itu nggak salah, lo nggak perlu takut ketika ditindas. Gue kasih tau satu hal, ya, mereka itu sebenarnya penakut."

Alis Hana sontak terangkat sebelah. "Penakut?"

Inggita mengangguk penuh percaya diri. "Iya. Penakut. Pecundang, pula. Beraninya sama yang lemah dan keroyokan. Giliran gue lawan? Pada kicep! Dihajar dikit, udah mewek. Tapi, sok mau nge-bully. Mental tempe!"

"Serius, Git, mereka nangis?"

"Iya, Syan. Ngakak banget gue sebenernya, anjir. Tapi, gimana lagi. Harus masang wajah garang di depan lawan, sih." Senyum lebar Inggita belum juga memudar ketika ingatannya menciptakan kilas balik tentang kejadian beberapa menit yang lalu.

"Nah, lo juga harus berani. Jangan mau direndahkan. Jangan mau dianggep remeh. Jangan mau ditindas. Selagi lo nggak salah, maju!"

Dalam hati, Hana mencatat baik-baik perkataaan gadis tomboy di sebelahnya dengan seksama. Senyumannya tanpa sadar terkulum cerah.

All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang