Tidak dapat dipungkiri, Inggita juga kecewa terhadap kegagalannya masuk ke SMA negeri beserta penolakan beasiswa Andalas High School. Akan tetapi, keterpurukan Inggita tidak sedalam Isyana.
Gadis berambut pendek itu mampu bangkit dari kubangan kekecewaan. Meskipun tak sepenuhnya berhasil menerima kenyataan jika ia harus terjebak di SMA Tarumanegara.
"Heh, lo mikirin apa, sih?"
Inggita terkesiap. Lamunan gadis berambut pendek itu seketika buyar karena teguran seseorang.
"Untung, ya, hari ini toko lumayan sepi. Coba rame. Dapet SP dari Bu Bos lo." Perempuan bercepol tinggi itu memperingatkan Inggita. Ia mendaratkan tubuh di sebelah rekan kerjanya tersebut. "Ada masalah apa lagi di sekolah?"
Sebelum menjawab pertanyaan Raras---teman kerjanya di toko baju remaja---Inggita menghela napas lelah. "Sekolah gue ada pertandingan futsal ngelawan AHS Sabtu minggu depan."
"Terus?" Raras masih setia menyimaknya.
"Ya walaupun gue udah ikhlas nggak keterima beasiswa Andalas High School, tetep aja kalo ke sana ada nyesek-nyeseknya, Ras," keluh Inggita sambil menggembungkan pipi.
Raras tersenyum keibuan. Gadis bercepol tinggi tersebut menepuk lembut bahu rekannya. Seakan memberikan suntikan semangat. "Gita, harusnya dengan itu lo buktiin ke Andalas High School kalo mereka salah karena enggak nerima lo. Denger, ya, Git. Emas di mana pun bakal tetep jadi emas. Lo juga nggak butuh AHS, mau di Tarumanegara kalo lo emas ya bakal emas."
Sebagai respon, Inggita tersenyum tulus. Rekan kerjanya itu selalu suportif meskipun mereka baru mengenal beberapa bulan.
Ponsel di saku gadis berambut sebahu tiba-tiba bergetar. Menandakan adanya notifikasi panggilan masuk dari seseorang. Dengan cekatan, Inggita segera menerima panggilan tersebut setelah menepi sesaat dari keramaian.
"Halo, Saboemnim?" sahut Inggita ketika nada sambung mulai terdengar.
"Hari Sabtu kosong, nggak, Git?" tanya pelatih taekwondo-nya dari sebrang telepon.
Inggita refleks mengigit bibir bagian bawahnya, keraguan tiba-tiba menyergap batinnya. "Eumm...." Gadis berambut pendek itu menimang-nimang jawabannya sejenak.
"Nggak kosong, ya? Apa SMA-mu yang sekarang hari Sabtu masuk? Kalo iya masuk, berarti tidak bisa, ya, Git?"
"Bisa-bisa," jawab Inggita cepat sebelum pelatihnya merasa kecewa. "Tapi, saya harus datang ke pertandingan futsal SMA saya terlebih dahulu. Lalu, pulang dari sana saya akan langsung ke tempat biasanya."
"Saya tunggu kehadiran kamu, Gita."
Setelah kalimat tersebut, pembicaraan ditutup secara sepihak. Inggita menghela napas lelah. Sejurus kemudian, gadis berambut pendek itu kembali ke toko pakaian tempatnya bekerja.
Inilah alasan utama menggapa Inggita sering menguap bahkan tertidur di kelas. Tuntutan pekerjaan menjaga toko pakaian dari jam lima sore hingga sepuluh malam membuat dirinya memiliki waktu tidur relatif sedikit ketika di rumah. Ditambah lagi, sepulang dari menjaga toko dirinya memiliki beban pekerjaan untuk memotong kain-kain flanel sebagai bahan utama pembuatan kerajinan tas UKM Rawangmangun.
Dari hasil tersebut, ia mempunyai penghasilan tambahan.Gadis itu rela bekerja serabutan asalkan halal serta mampu membiayai kehidupannya sendiri dan juga biaya rumah sakit jiwa tempat rehabilitasi mama.
Dari pengalaman buruk yang menimpa nasibnya, Inggita sadar satu hal. Hidup itu penuh perjuangan.
____
Sementara itu, di malam yang sama tetapi di tempat yang berbeda, seorang gadis berkucir kuda berjalan seorang diri menuju toserba yang tidak jauh dari rumah.
![](https://img.wattpad.com/cover/220589005-288-k276993.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
All the Bad Things
Teen Fiction[COMPLETE] Dalam hidup, selalu ada yang namanya jatuh, bangun, bangkit, patah, hilang, luka, tumbuh, kecewa, bahagia, dan gagal. Tiap-tiap insan akan mengalami fase tersebut. Tinggal bagaimana cara mereka untuk tetap bertahan. Sebab, memang begitu m...