14. Teman

277 84 55
                                    

"Isyan!"

Isyana sontak menengadah. Sorot matanya bersirobok dengan sepasang netra teduh dari  pemuda berahang tegas yang sedang melambaikan tangan ke arahnya.

Gadis berkucir kuda tersebut refleks menampilkan senyum sejuta watt. Berusaha melupakan insiden menjengkelkan di rumah susun Inggita. "Hai, Ta!"

Pemuda berbalut hoodie merah maroon itu lantas melesat menuju Isyana. Ia kemudian mendaratkan tubuh persis di sebelah gadis berkucir kuda tersebut.

"Ngapain lo?" tanya Isyana, to the point.

"Harusnya, gue yang nanya. Lo ngapain ke sini?" komentar Duta sambil memutar bola mata malas. "Kok bisa-bisanya, sih, kita sering ketemuan nggak disengaja di toserba Hikmah. Kalo gue emang lumrah, ya. Orang rumah gue deketan sama bangunan rusun. Jadi, jalanan pulangnya selalu lewat sini. Lah, elo?"

"Ada keperluan sama Inggita. Hari ini gue udah janji mau balikin jaketnya," balas Isyana seraya mengalihkan pandangan.

Duta mengangguk, tampak mengerti.

Namun, gerakan rahangnya yang terlalu kuat menyebabnya rasa ngilu kembali hadir menjalar sistem syarafnya. Ia seketika meringis kesakitan seraya memegangi pipi.

Isyana yang mendengar rintihan Duta sontak menunjukkan perasaan khawatir. "Lo kenapa?" tanyanya panik sambil mengamati wajah pemuda tersebut lamat-lamat.

Tepat setelah itu, Isyana baru menyadari ternyata terdapat lebam kebiruan samar yang tercipta di pipi serta rahang lawan bicaranya. Pantas saja pemuda itu merasa kesakitan.

"Eh. Kenapa bisa kayak gitu?" Tangan Isyana terulur untuk menyentuh luka lebam di rahang Duta secara hati-hati.

"Tawuran lagi lo, ya? Ngaku, deh!" tebaknya, risau. Ia menggigit bibir bagian bawah dilingkupi kecemasan.

Duta mendengus sebal. "Enak aja," sanggahnya membela diri sendiri. "Gue udah nggak tawuran lagi, ya."

"Masa?" tanya Isyana, skeptis.

"Gue abis dapet 'hadiah' dari temen-teman," terang Duta sembari mengutip kata 'hadiah' dengan kedua jemarinya.

Menyadari makna tersirat dari ucapan lawan bicaranya, mata Isyana sontak membelalak sempurna. "Hah? Maksudnya? Dipukulin sama temen-temen lo?"

Sebagai tanggapan, Duta hanya mengangguk singkat.

"Gimana bisa?" ungkap gadis berkucir kuda tersebut tidak percaya.

Sebelum menjelaskan asal muasal luka lebam kebiruan di pipi dan rahangnya, Duta menarik napas panjang.

"Gue keluar dari geng...." Duta merasa janggal jika menyebut mereka adalah geng. Sehingga, dengan cepat ia pun meralat. "Eh. Bisa dibilang perkumpulan ngelawan SMA Tarumanegara gitu, deh," sahutnya seraya menampilkan seulas senyum asimetris.

Alih-alih menyesal, perasaan lega justru membuncah tatkala dirinya tidak lagi tergabung menjadi bagian geng tawuran tersebut.

"Gue salut sama lo, Ta. Sumpah," puji Isyana, tulus. Sorot matanya memancarkan kekaguman luar biasa. Sedangkan Duta hanya menghembuskan napas panjang.

"Kalo boleh tau, apa alasan lo buat keluar dari tongkrongan itu, Ta?"

"Gue keluar untuk mencari diri gue sebenarnya," jawab Duta tanpa keraguan.

"Maksud lo?" Dahi Isyana berkerut dalam, ia pun berusaha memperjelas.

"Gue hilang, Isyan. Gue mengalami krisis identitas. Bertahun-tahun lamanya gue kehilangan diri sendiri. Gue butuh keluar untuk mencarinya."

All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang