17. Istimewa

262 81 34
                                        

Akhir-akhir ini, pikiran Isyana dirundung tanda tanya besar seputar keadaan Inggita. Meskipun telah mendengar langsung dari ibu-ibu tukang gosip tetangga gadis tersebut, tetap saja ia tak mau mengambil kesimpulan secara gamblang terkait informasi yang ia dapatkan tanpa adanya keterangan pasti dari pihak yang bersangkutan.

Namun, ketika ingin menanyakan langsung kepada Inggita, batinnya selalu meragu.

Bagaimana jika teman sebangkunya itu tersinggung?

Tetapi, di satu sisi ia ingin sekali menjadi tempat berbagai luka serta berkeluh kesah bagi gadis tomboy tersebut. Sudah sepantasnya begitu, bukan? Mengingat kebiasaan Isyana yang selalu membutuhkan Inggita sebagai tempat berbagai cerita. Maka, ia pun harus melakukan hal serupa.

"Ngadem di UKS, yuk?" Inggita tiba-tiba bangkit dari kursi. Tangan gadis berambut pendek itu terulur untuk membungkam mulut yang terbuka lebar ketika menguap.

Isyana terkesiap. Terlalu lama terjebak dalam pikirannya sendiri membuat ia tidak sadar jika sedari tadi sudah melamun. Ia mengedarkan pandangan sekeliling ruangan. Lagi-lagi, jam pelajaran ketiga kosong. Penghuni X IPA 1 semrawut dengan aktivitas membisingkan. Terlebih, tatkala tidak ada tugas menanti.

"Syan?" Inggita mengibaskan tangan di depan wajah Isyana. "Down to earth."

"Eh?"

"Ngelamun mulu lo," komentar Inggita seraya menarik langkah menuju UKS.

Kesadaran Isyana kembali normal. Ia pun begergas mensejajari langkah dengan Inggita seraya memantapkan diri untuk memastikan.

"Gita...." Ia menggigit bibir bagian bawah, ragu sejenak.

Inggita menoleh sekilas. Alisnya terangkat sebelah.

"Maaf sebelumnya." Isyana meremas rok putih abu-abunya sambil menunduk.

"Kenapa, sih, Syan?"

Setibanya mereka berdua di UKS. Inggita segera merebahkan tubuh ke brankar tanpa menunggu waktu lama. Gadis berambut pendek itu mulai memejamkan mata seraya menarik selimut. Meskipun UKS SMA Tarumanegara tidak memasang AC layaknya sekolah-sekolah lain, setidaknya di sini ada dua buah kipas angin.  Jadi, tidak segerah ketika berada kelas X IPA 1 yang tak mempunyai kipas angin ataupun AC.

Isyana membaringkan tubuh pada brankar di sebelah Inggita. Ia mengerling teman sebangkunya yang tampak nyaman terlelap.

"Gita, lo belom tidur, kan?"

"Hm?" sahut Inggita masih dengan mata terpejam.

"Gue minta maaf kalau semisal lancang."

"Lo mau ngomong apaan, sih, Syan? Daritadi minta maaf mulu nggak ngomong-ngomong," timpal Inggita, gemas sendiri.

"Kemarin 'kan gue ke rusun lo...."

"Terus?" pancing Inggita seraya mengerjapkan mata. Ia lantas mengarahkan atensi kepada gadis berkucir kuda di sampingnya.

"Gue ketemu ibu-ibu di sepanjang tangga...."

"Ngegosipin keluarga gue?" tebak Inggita tepat sasaran seraya tertawa hambae. Dalam seperkian detik, wajahnya berubah datar. Bukan seperti Inggita Liana yang ia kenal.

Isyana didekap perasaan bersalah karena tanggapan masam yang ditunjukkan lawan bicaranya. Gadis itu cepat-cepat menduduk. "Sorry, gue nggak bermaksud nguping atau gimana. Tapi, gusar aja sama mereka."

Sedetik kemudian, wajah Inggita berkilat cerah. "Terus-terus gimana?" tanyanya antusias seraya menggeser tubuh agar lebih dekat dengan brankar Isyana.

All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang