2. Realita

580 105 75
                                    

Suasana dingin terasa mencekam ketika Isyana memberanikan diri menarik laci meja belajarnya.
Gadis berkucir kuda itu mendesah panjang untuk mempersiapkan diri.

Bagian terburuk dari kehidupanya harus segera disingkirkan. Ia tak akan membiarkan kepingan memori menyakitkan itu menghantui pikirannya di masa putih abu-abu.

Air mata sudah bersiap terjun bebas dari benteng pertahanan kala laci meja belajar telah tersingkap sempurna.

"Basi," desisnya, geram. "Mana yang katanya hasil nggak akan mengkhianati usaha? Utopis sekali."

Dadanya sesak seakan dihimpit sebongkah batu besar, sukmanya bergejolak lara dalam raga yang sulit merelakan, batinnya memberontak tidak terima. Akan tetapi, di balik kesedihan menatap barang-barang yang tersimpan di laci meja belajar, terdapat percikan amarah yang berusaha ia pendam rapat-rapat.

Tangan Isyana bergerak cepat menyingkirkan barang-barang tersebut. Air matanya jatuh perlahan hingga akhirnya tidak terbendung.

Luka-lukanya kembali dikoyak.

Isak yang semula tertahan kini meledak juga bersama pilu keputusasaan.

"Harusnya, gue belajar lebih giat lagi! Harusnya, gue berdoa sama Tuhan lebih rutin lagi! Harusnya, gue nggak terlahir bego!" Emosinya mulai tak terkendali. Gadis berkucir kuda itu kalap. Ia segera membanting barang-barang dari laci meja belajar ke sembarang arah.

Tangisnya berubah histeris. Perasannya teriris.

Isyana mengalihkan atensi ke arah papan impian yang terpampang lebar di atas meja belajar. Papan impian itu dulunya berfungsi sebagai benda pengingat ketika dirinya sedang bermalas-malasan belajar. Hanya dengan melihat papan impian tersebut, jiwanya terstimulus untuk jangan pernah mudah putus asa.

Namun, papan itu kini tampak tertawa mengejeknya.

"KENAPA LO BEGO BANGET, SIH, ISYANA!" makinya sebal kepada diri sendiri seraya merusak papan impian tersebut hingga tak terbentuk. "NEM CUMA 36,95. UDAH TAU SMAN 8 MININAL NEM 37,00."

Seakan belum puas melampiaskan kekecewaan, Isyana memunggut sebuah binder merah muda yang tergeletak di lantai.

Seulas senyum asimetris terpatri ketika netranya menatap benda itu.

Satu tahun belakangan, binder tersebut merupakan saksi bisu perjuangan gadis berkucir kuda itu dalam menggapai target-target kehidupan. Akan tetapi, saat ini menjadi benda yang paling ia hindari setelah papan impian.

"Sia-sia sudah semua pengorbanan gue," gumamnya tajam seraya mulai merobek seluruh isi binder menjadi bagian kecil.

Persetan dengan harapan-harapannya di masa lalu.

Kegagalan menjadikan Isyana sosok dingin dan tak tersentuh.

___

Suara ketukan pintu disertai panggilan namanya beberapa kali sontak membangunkan seorang gadis berkucir kuda yang sedang terlelap ke alam bawah sadar.

Lantaran terlalu lama menangis sore tadi, kedua matanya jadi memerah dan sedikit bengkak. Rambut awut-awutan ditambah wajah tertekuk membuat ia enggan keluar kamar.

"Isyan, makan malam dulu, yuk."

Isyana memutar bola mata malas tetapi tidak membantah. Gadis beriris coklat madu itu segera bangkit dari tempat tidur lalu beranjak menuju sumber suara. Tepat setelah daun pintu terjeblak, sesosok wanita paruh baya menyambut indra pengelihatannya dengan sorot khawatir.

"Kamu nangis lagi, Syan?" tanya wanita itu cemas seraya mengusap lembut wajah kusut putri semata wayangnya.

Isyana menepis tangan ibunya lembut. "Nggak papa," sahutnya datar seraya berjalan mendahului beliau ke meja makan.

All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang