Setelah menentukan visi tidak lantas membuat urusan Isyana, Inggita, Duta, Kelvien, dan Hana selesei. Muncul lagi konflik selanjutnya. Lantaran hal tersebut, memaksa mereka berempat pamit undur diri dari kediaman Hana. Walaupun sang rembulan telah menggantikan raja siang menggantikan tugas menyinari muka bumi, keempat remaja tersebut masih menghabiskan waktu di lokasi serupa berjam-jam lamanya.
"Logo udah oke. Tapi, kemasan?"
"Gampang itu, mah. Papaku punya relasi banyak masalah begituan. Nanti kirim aja enaknya gimana, terus jadi, deh."
Inggita mendesah berat. "Duit lagi, duit teros," keluh gadis berambut pendek itu seraya kembali mencatat pengeluaran dalam tabel BEP. "Rugi kita ntar. Kalo nggak balik modal gimana?"
Isyana mengigit bibir bagian bawah. Memikirkan kembali penuturan Inggita.
Benar juga. Langkah awal memulai usaha adalah modal. Tetapi, jika modalnya membutuhkan banyak pengeluaran begini, bisa tekor juga isi dompetnya.
Jika balik modal dengan mendapatkan laba, sih, gadis itu akan oke-oke saja. Namun, kalau tidak bagaimana?
"Bener juga, ya," seru gadis berkucir kuda tersebut, cemas. Ekor matanya kemudian berpendar menatap wajah keempat temannya secara bergantian. Semua pikiran buruk bergelayut di benaknya. Segala risiko kegagalan dalam berbisnis pun ia renungkan lamat-lamat.
"Nggak cuma itu," celetuk Kelvien tatkala teringat sesuatu. Pemuda berkacamata yang gerak-geriknya paling menenangkan di antara kelimanya tersebut membubuhkan satu lagi pengeluaran dalam kertas yang dipegang Inggita.
"Biaya stan," imbuhnya seraya mengeja kalimat tersebut. "Lo mau kita berdagang di mana? Ngemper di jalan raya?"
Duta refleks menepuk dahinya, pias. Ia menghela napas panjang sembari menyandarkan tubuh. "Bener lo, Kelv. Banyak banget persiapannya."
Menilik teman-temannya sekilas, Isyana kini mengambil alih kertas pengeluaran yang sempat dipegang Kelvien. "Jangan lupain juga faktor kegagalan," seru gadis berkucir kuda tersebut seraya menuliskan kata 'kegagalan' menggunakan huruf kapital supaya memperjelas. "Gagal dalam berwirausaha itu hal mutlak yang nggak bisa dihindari. Liat aja enterpreunar muda di luar sana, berapa kali mereka jatuh-bangun?"
Hening menguasai keadaan. Semua orang tampak sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka berusaha mencari solusi terbaik untuk mengatasi masalah ini. Setelah mendiskusikan logo, kemasan, desain, ternyata tidak sedikit sesuatu yang jauh lebih krusial. Hal tersebut tentulah tidak mudah. Tidak segampang yang mereka pikirkan dalam ekspetasi.
Hana yang sedari tadi memilih diam, tiba-tiba terbesit sebuah ide gila untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Sorot matanya sontak berkilat cerah diikuti senyum sejuta watt yang merekah lebar.
"Aku tahu, guys," sahut Hana, antusias.
Penuturan gadis berambut sebahu tersebut kontan memicu tanda tanya besar di kepala keempat temannya. Mereka semua memandang Hana dengan tatapan penuh harap.
"Pokoknya, janji dulu kita nggak boleh nyerah, seberat apa pun masalah yang bakal dihadapi di depan sana," ujar gadis itu sungguh-sungguh sesaat sebelum mengutarakan idenya.
"Iya. Apa?"
"Kenapa, Han?"
"Apa idenya?"
"Jadi, solusinya gimana?"
Pertanyaan bertubi dari Inggita, Isyana, Duta, dan Kelvien sukses membuat ia menatap intens keempat temannya. Tangan kanan gadis berambut sebahu tersebut merangsek meraih jemari remaja yang di hadapannya satu persatu. "Tapi, janji dulu. Janji jari kelingking," ucapnya seraya mengangkat jari kelingking seolah mengajak untuk saling bertautan.
KAMU SEDANG MEMBACA
All the Bad Things
Teen Fiction[COMPLETE] Dalam hidup, selalu ada yang namanya jatuh, bangun, bangkit, patah, hilang, luka, tumbuh, kecewa, bahagia, dan gagal. Tiap-tiap insan akan mengalami fase tersebut. Tinggal bagaimana cara mereka untuk tetap bertahan. Sebab, memang begitu m...