Satu minggu berlalu sejak insiden mengecewakan tersebut, tak ada satu pun di antara mereka yang menginjakkan kaki di stan Good Things. Kehidupan kelimanya berjalan seperti semula layaknya tak lagi saling mengingat pernah menyatukan visi menciptakan Good Things.
Isyana dan Inggita seperti biasa melanjutkan sekolah di SMA Tarumanegara.
Duta yang masih tak memiliki teman di STM 05 tetapi kadangkala menyempatkan diri bermain ke rumah Isyana ditemani Inggita.
Kelvien tak lagi bertegur sapa memilih tenggelam bersama kesibukannya meningkatkan prestasi akademik serta memperdalam kemampuan menggambar di kala senggang.
Sedangkan, Hana? Gadis berambut sebahu tersebut masih berada pada titik yang sama. Terjebak dalam kubangan penyesalan serta rasa bersalah. Walaupun Thiera tak separah dulu ketika menganggunya berkat ancaman Inggita tempo hari, tetapi tetap saja sekolah merupakan satu tempat yang sangat ia hindari.
Seharusnya, gadis berambut sebahu tersebut sadar untuk tidak mengulangi kesalahan serupa layaknya satu bulan lalu. Dengan sikap orangtua yang selalu memanjakan serta menuruti apa pun keinginan putri semata wayangnya, lambat laun berdampak buruk bagi kepribadian Hana. Gadis itu tanpa sadar memiliki tingkat ketergantungan tinggi kepada mama dan papa. Ia mengandalkan segala kekayaan serta kekuasaan mereka guna menyukseskan segala keinginannya, sekalipun harus menempuh cara-cara kotor, Hana tak peduli. Akan tetapi, semenjak mendapat pengertian dari Kelvien pada hari kelulusan masa putih biru, Hana perlahan mencoba berubah. Ia membenah diri. Berusaha terlepas dari koneksivitas apa pun itu yang memiliki keterkaitan terhadap orangtuanya.
Namun, rencananya untuk berubah tampaknya goyang.
Melihat binar harapan di wajah keempat sahabatnya, ia jadi tidak tega mengecewakan. Ia tak mau harapan yang dipupuk tinggi ketika membangun Good Things pupus begitu saja akibat stan yang sudah satu minggu selalu sepi pengunjung. Lantaran hal tersebut, sudah cukup menjadi alasan bagi Hana untuk menghubungi papa supaya menyewa pelanggan bayaran melalui tangan kanan orang kepercayaannya di Jakarta.
Lagi-lagi, kala itu pikiran Hana terlalu naif ketika menentukan keputusan. Ia tidak memikirkan segala sebab akibat perihal tindakannya.
Satu-satunya hal yang terlintas di benak Hana adalah; Good Things ramai pengunjung, keempat temannya bahagia, berdonasi untuk pembangunan masyarakat.
Hanya itu. Tak ada yang lain.
Mungkin, ini adalah teguran dari Tuhan agar dirinya meremediasi ketergantungan papa dan mama.
Kelvien yang menghindarinya di sekolah.
Nomor Inggita yang tak bisa ia hubungi.
Duta yang jutek tak terkira.
Dan, Isyana yang enggan menganggap kehadirannya.
Perubahan sikap teman-temannya akhir-akhir ini dipicu oleh satu hal serupa.
Tindakan cerobohnya.
_______
Untuk kesekian kali, Isyana menghela napas panjang. Sebuah getaran singkat di ponselnya menandakan adanya panggilan masuk dari seseorang. Ia memutar bola malas. Tanpa perlu melihat sang penelpon pun Isyana tahu siapa orangnya.
Pasti Hana Risjad?
Lantas, siapa lagi seseorang yang tak pernah jera meneror ponselnya dengan ratusan pesan permintaan maaf serta kalimat penyesalan bertubi.
"Syan, gue pulang dulu. Lo mau bareng, nggak?" Inggita bangkit dari bangkunya seraya memutar-mutar kontak sepeda motor.
Jam pembelajaran telah berakhir sepuluh menit yang lalu, tetapi baik Inggita dan Isyana masih berdiam di kelas untuk menyelesaikan catatan Matematika di papan tulis. Sehingga tak mengherankan, hanya menyisakan kedua gadis tersebut di dalam kelas X IPA 1.
KAMU SEDANG MEMBACA
All the Bad Things
Teen Fiction[COMPLETE] Dalam hidup, selalu ada yang namanya jatuh, bangun, bangkit, patah, hilang, luka, tumbuh, kecewa, bahagia, dan gagal. Tiap-tiap insan akan mengalami fase tersebut. Tinggal bagaimana cara mereka untuk tetap bertahan. Sebab, memang begitu m...