3. Gita

493 101 63
                                    

Bangunan bersusun yang dari luar terlihat kumuh itu telah genap sepuluh tahun menjadi tempat kediamannya.

Inggita mendengus ketika melewati ibu-ibu biang gosip di sepanjang anak tangga. Gadis berambut pendek itu melengos begitu saja. Tanpa perlu menyapa apalagi sekedar menoleh.

Inggita benci mengingat fakta rumahnya ada di lantai tiga. Hal tersebut tentu membuat dirinya terpaksa menaiki anak tangga terlebih dahulu serta melewati ibu-ibu biang gosip setiap hari.

Sesampainya di kamar bernomer 119, gadis berambut pendek itu segera mengeluarkan kunci rumah dari dalam ransel. Sejurus kemudian, memutar kenop pintu tersebut secara kasar. Sebuah ruangan yang tidak terlalu besar menyambut indra pengelihatannya tatkala pintu sepenuhnya tersingkap.

Inggita mendesah panjang sesaat sebelum melangkah masuk. Rumah ini tidak seluas tempat tingalnya yang dulu. Tidak juga seramai ketika keluargnya masih lengkap. Ada papa yang setiap hari mengajaknya menonton pertandingan taekwondo, ada pula suara berisik alat pengocok telur milik mama ketika menjelang petang. Tak lupa pula, celotehan kedua orangtuanya yang membicarakan tentang banyak hal.

Namun, semua kegiatan itu kini menjadi kenangan pahit yang menyesakkan untuk dikenang.

Pandangan gadis tersebut kemudian jatuh pada jam dinding di dekat lemari. Pukul lima lewat sepuluh menit. Akibat pertengkaran dengan senior cabe-cabean, ia jadi mendapatkan hukuman membersihkan seluruh kamar mandi sekolah sehingga baru diizinkan pulang jam lima sore. Inggita merenganggakan otot-otot tubuhnya lelah, lalu merebahkan tubuh di atas ranjang. Gadis berkulit sawo matang dengan rambut pendek itu memejamkan mata sejenak. Mengevaluasi kegiatannya hari ini. Sebuah kilas balik tentang kejadian menghebohkan di sekolah tadi berputar di benaknya.

Dia balik menampar senior cabe-cabean hingga menjerit kesakitan. Kelas pun mendadak rusuh. Tidak lama kemudian, datanglah sang ketua OSIS beserta guru BK untuk menenangkan pertingkaian. Andai tidak ada yang melerai perbuatannya atau ketua OSIS dan guru BK tersebut datang terlambat ke lokasi kejadian, bisa dipastikan ia akan saling jambak, cakar, bahkan adu bogem dengan senior itu.

Sungguh, Inggita tidak bermaksud untuk berkelahi di masa orientasi. Tetapi, melihat teman sebangkunya  tersudut oleh senior yang sok berkuasa, hatinya seketika geram.

Katakanlah, Inggita tempramental. Ada pula yang mengatakan dirinya baperan. Akan tetapi, ia tak pernah memedulikan penilaian serta labelisasi dari orang-orang sekitar. Menurut Inggita, ini adalah hidupnya sediri. Dia yang memiliki kuasa serta kendali penuh atas kehidupannya. Bukan orang lain. Orang lain memang mempunyai hak untuk menilai, tetapi dirinya juga punya hak untuk tidak mendengarkan. Lagi pula, ia benci stigma di masyarakat yang terlalu mudah melabeli mental seseorang.

Drttt

Ketika pikirannya tengah menerawang jauh, sebuah benda pipih persegi panjang meronta-ronta dari saku rok putih birunya, menandakan terdapat sebuah panggilan masuk.

Tanpa melihat sang penelpon terlebih dahulu, ia segera menekan opsi hijau di layar touchscreen lalu menempelkan ponsel tersebut ke daun telinganya.

"Halo, Gita?"

Suara yang terdengar familiar itu sontak membuat tubuh Inggita menegak. Gadis itu refleks bangkit dari tempat tidur.

"Ini bener nomer baru kamu, kan?"

Telapak tangan Inggita terkepal kuat. Rahangnya mengeras. Sorot matanya setajam elang.

"Git?" Menyadari nihilnya respon dari lawan bicaranya, ia pun kembali menyoal. "Gimana tawaran bulan lalu?"

"Tidak. Terima kasih," desis Inggita tak bersahabat.

"Jangan keras kepala, Gita. Sekali saja cobalah terima penawaran saya."

"Saya tidak mau berurusan dengan Anda," tolak Inggita tegas, seolah tak bisa dibantah.

"Emangnya kamu rela melihat Mamamu terus-menerus di tempat itu? Dia memerlukan perawatan VIP, Git."

"Jika Anda lupa, saya ingatkan." Gadis berambut pendek itu berdeham sejenak. "Saya. Tidak. Sudi. Menerima. Bantuan. Anda."

"Gita...."

"Berhenti memanggil nama saya dengan nada sok memelas itu. Pertahanan saya tidak akan goyang. Sekali lagi saya peringatkan, saya masih memiliki sanak saudara dari keluarga Mama. Saya tidak butuh bantuan Anda."

Terdengar helaan napas panjang dari sebrang telepon.

"Sepertinya, saya sudah membuang cukup banyak waktu dengan meladeni pembicaraan Anda." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Inggita segera menutup panggilan telepon secara sepihak. Dengan cepat, gadis itu menonaktifkan ponsel lalu mengubur benda pipih persegi panjang tersebut ke nakas meja.

Inggita sadar, ini merupakan pilihan terbaik. Dia enggan menyangkut pautkan orang lain ke dalam masalah yang telah diperbuat kedua orangtuanya. Terlebih, orang itu  dahulu pernah nyaris menghancurkan kebahagiannya.

_____

Flashback

Kedua brosur penerimaan peserta didik baru yang berasal dari dua sekolah berbeda itu membuat perasaan Inggita gamang.

Dia ingin sekali melanjutkan jenjang pendidikan ke Andalas High School. Sekolah elit yang terkenal akan fasilitas pembelajaran serta kurikulum pendidikan yang patut diacungi jempol.

Namun, uang tabungan serta gaji bulanannya tidak akan sanggup membiayai biaya operasional Andalas High School yang terkenal selangit. Mendaftar melalui beasiswa pun ia tak lolos seleksi tulis. Satu-satunya jalur yang harus gadis itu tempuh untuk masuk ke Andalas High School tentu saja melalui jalur reguler. Akan tetapi, melihat nomimal yang harus ia bayar ketika mendaftar ke SMA tersebut cukup membuat Inggita mengelus dada.

Di satu sisi, terdapat secarik brosur kuning telur milik SMA Tarumanegara. SMA swasta ber-akreditas B yang terkenal dengan catatan hitam serta murid-murid barbar yang hobi tawuran. Mereka menyebutnya, markas bad boy dan bad girl. Tetapi, jangan pernah sekalipun membayangkan bad boy dan bad girl di sini seperti novel-novel Wattpad pada umumnya. Tidak. Mereka sangat jauh dari penggambaran tersebut. Selain tidak ada ganteng-gantengnya sama sekali, kelakuannya pun juga tidak mencerminkan seorang pelajar. Berapa kali kasus hamil diluar nikah oleh murid SMA Tarumanegara? Tak terhingga.

Dengan fasilitas serta citra buruk seperti itu, tentu saja harga yang ditawarkan pun cenderung murah meriah.

Bahkan, tabungan Inggita masih tersisa banyak jika mendaftar ke SMA tersebut. Lain cerita ketika ia nekat ke Andalas High School. Alih-alih tersisa, ia justru membutuhkan lebih banyak tambahan dana.

"Duh ... yakali gue daftar ke Tarumanegara?" gumam Inggita kepada diri sendiri seraya menatap brosur SMA Tarumanegara lekat-lekat. "Nggak papalah SMA Tarumanegara aja. Sisa uangnya bisa buat berobat Mama...."

"Eh, tapi...." Inggita menggigit bibir bagian dalamnya. Tampak ragu sesaat. "Lingkungannya nggak baik. Gue yang udah barbar jadi makin barbar, dong?"

Gadis berambut pendek itu menghela napas lelah. Dia tidak boleh egois dengan menuruti keinginannya sendiri. Dia juga perlu memikirkan kondisi mama yang membutuhkan biaya pengobatan. Jika uangnya ludes untuk mendaftar ke sekolah swasta terbaik itu, bagaimana nasib mama?

Dialah yang harus berkorban. Memang begitu seharusnya.

Memendam keinginannya untuk mengenyam pendidikan di Andalas High School, Inggita akhirnya menentukan pilihan. Opsi gadis tersebut jatuh kepada SMA Tarumanegara. SMA yang sangat tidak ia inginkan. Akan tetapi, lantaran masalah ekonomi memaksanya untuk mendaftar ke sekolah tersebut.

Inggita tersenyum getir, berusaha menghibur diri, gadis itu kemudian bergumam lirih. "Orang kere kayak lo mau ngarep SMA yang gimana lagi, sih, Git. Udah bagus bisa sekolah."

____

a/n

Masalah Inggita belom tersingkap semuanya ya gaiz. Itu masih sebagian. Isyana juga, nggak semua masalahnya aku tumpahin di part dua. Bertahap hm.
Tapi, ada juga loh tokoh lain yang masalahnya belum diketahui sama sekalii. Bakal ada chapter2 berikutnya kok. Yuk, ikutin terus! ❤

Xx,
Diffean

All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang