8. Perekrutan

340 80 74
                                    

"Nama saya Isyana. Biasa dipanggil Isyan, Isyana, up to you. Asal sekolah SMP Garuda Cendikia. Salam kenal semuanya." Isyana menutup perkenalannya dengan seulas senyum singkat.

"Lah, waktu SMP lo anak sekolah favorit. Pas SMA, kok, bisa jeblok banget masuk sini, Syan?" celetuk salah satu siswa yang ditanggapi dengan siswa lain.

"Bener juga, yak. SMP lo SMP swasta terfavorit yang isinya anak-anak pinter semua. Pantesan bisa dapet nilai tertinggi dengan mudah. Tapi, SMA-nya malah Tarumanegara."

"Gila lo, Syan. Bisa-bisanya masuk SMA Tarumenagara."

Perasaan aneh menelusup di benak Isyana tatkala diserbu pertanyaan sensitif tersebut. Gadis berambut sebahu itu memilin sisi rok putih abu-abunya, kalut. Menahan emosi yang perlahan menyeruak.

Mereka pikir, dirinya juga mau bersekolah di SMA ini?

Andai saja nilai Ujian Nasional-nya ketika SMP memungkinkan untuk masuk ke SMAN 8 DKI Jakarta, Isyana juga enggan mendaftar ke SMA Tarumanegara. Barangkali pula ia lolos beasiswa penerimaan siswa baru di Andalas High School, nasibnya tidak akan terjebak ke dalam sekolah swasta yang sangat ia hindari.

"Kepo banget, sih, lo pada," sahut Inggita, ketus. Dia mulai menyadari perubahan raut wajah Isyana.
Dia paham, posisi teman sebangkunya itu tidaklah mudah. Gadis berkucir kuda tersebut selalu sensitif jika sudah membahas hal yang berhubungan dengan alasannya masuk ke SMA Tarumanegara.

Dia terluka. Belum sanggup untuk terbuka.
Dia terpuruk. Pertahanan mentalnya ambruk.
Dia menyerah. Catatan perjuangannya tanpa arah.

Inggita memaklumi perasaan Isyana.

Bagaimanapun, ia tahu pedihnya kegagalan masuk ke SMA impian setelah berjuang mati-matian.

Isyana yang sedari tadi hanya bergeming, membuat Bu Nurli selaku wali kelas segera mencairkan suasana.

"Nama kamu hanya Isyana? Nama lengkapnya siapa?"

Gadis berkucir kuda tersebut mengigit bibir bagian bawahnya. Ragu melanda batinnya.

Haruskah ia memberi tahu?

Hanya ada satu kemungkinan ketika ia menyebutkan nama lengkapnya di depan umum.

Menjadi bahan tertawan.

"Hm? Siapa?" Bu Nurli setia menantikan jawaban Isyana.

"Nama lengkap saya Isyana Sarasvati," ucap Isyana sambil menyunggingkan seulas senyum canggung.

Tepat seperti dugaannya, tawa seisi kelas kontan meledak.

Inilah risiko memiliki nama yang menyerupai salah satu penyanyi papan atas.

____

"Kantin, yuk?"

Bel istirahat baru saja bergema satu menit yang lalu. Inggita dengan semangat berlebih segera mengajak Isyaa beranjak dari kelas yang lebih mirip tempat sauna. Mereka berdua berjalan bersisian di sepanjang koridor seraya mengipasi diri sendiri dengan secarik kertas.

"Bener-bener ya, nih, sekolah. Udah bel rusak. Bangku banyak yang reyot. Kipas angin nggak bisa pula," gerutu Inggita sebal teringat keadaan kelasnya yang teramat gerah.

"Bangke, kan, Syan. Mana anak-anak cowoknya pada main bola di dalam kelas," gidik Inggita satiris sembari menaikkan volume suaranya. "Nggak kebayang anjir keringet anak-anak yang main bola itu bercampur pengap dalam ruangan." Gadis berambut pendek itu membuat gerakan menutup hidungnya sendiri.

Isyana tersenyum kecil menanggapi keluhan Inggita. "Jadi gas beracun, kali."

Tidak terasa, langkah kedua gadis tersebut telah berada di area kantin.
Saat Inggita dan Isyana hendak mencari tempat duduk yang kosong, segerombolan siswa laki-laki kelas dua belas menghadang langkah mereka mereka dengan dagu terangkat angkuh.

All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang