48. Epilog

334 58 40
                                    

Seorang gadis berkemeja putih dilapisi cardigan nude itu melangkah penuh percaya diri memasuki ruangan yang telah dipenuhi segerombolan orang beserta hiasan balon-balon beserta rangakain bunga besar bertuliskan Grand Opening Good Things. Ia mengulum senyum lebar. Memperlihatkan deretan gigi putih rapinya.

Tiba-tiba, dari arah belakang seseorang merengkuhnya erat. "Perjuangan kita ngak sia-sia, ya, Syan."

Tawa Isyana kontan meledak. Ia mengangguk setuju. Menoleh sekilas ke belakang, netranya menyorot hangat. "Makasi, Gita."

Terkekeh sesaat, Inggita kian mengeratkan rengkuhnya gemas. "Yeuw, apaan, sih, Nyet. Harusnya, gue yang bilang makasi ke lo. Bilang makasi juga ke Duta, Hana, dan Kelvien atas kerja keras mereka membangun ini semua. Coba aja kita nyerah pada waktu kita, nggak bakal kayak gini."

Isyana memejamkan mata. Menahan kristal bening yang berusaha menyeruak karena rasa haru.

"Udah, ah, berhenti melankonis-nya," sahut Inggita seraya melepaskan dekapan dari Isyana. "Noh, liat udah ada jurnalis yang mau ngeliput. Banyak pengunjung pula, yakali tetep melo begini." Selepas mengutarakan hal tersebut, tawa gadis tomboy itu menyembur. Dengan segera, ia menarik lengan Isyana menuju tempat ketiga temanya berada.

Di sepanjang derap langkah menuju basecamp, beberapa pasang mata memerhatikan mereka berdua. Senyum Isyana tak kunjung meluntur. Sementara itu, pandangan matanya mengedar ke sepenjuru ruangan. Kursi dan meja kafe yang telah tertata rapi, ruangan luas dipulas warna pastel beserta atribut dengan nada serupa, beberapa pengunjung tampak ramai bergerombol, tanpa sadar setitik haru singgah kembali di benak Isyana.

Dulu, Good Things tak pernah seramai ini.

Dulu, Good Things tak pernah seluas ini.

Dulu pula, Good Things tak pernah memiliki banyak cabang.

Untuk mencapai titik ini tentulah tidak mudah. Semua butuh proses. Segala kesuksesaan berawal fase terendah. Sehingga, tak heran terdapat istilah from zero to hero. Tidak ada sesuatu yang instan. Sekalipun mi instan, perlu perjuangan untuk membuatnya. Mulai dari merebus air, menunggu mendidih, dan banyak lagi memerlukan waktu. Selayaknya Good Things, untuk merintisnya membutuhkan kerja keras, pengorbanan, keringat, air mata, serta rentetan permasalahan yang mengguncang eksistensi Good Things.

"ISYAN, GITA!" Hana tiba-tiba bangkit dari posisinya duduk di kursi tinggi. Gadis mungil yang tetap mempunyai rambut sebahu hitam legam itu berlari kecil seraya merentangkan kedua tangannya.

"HANAAAA," sahut Inggita dan Isyana secara bersamaan seraya ikut menyambut dekapan Hana dengan antusias. Tatkala jarak di antara mereka bertiga telah sepenuhnya tak tersisa, pelukan hangat itu akhirnya terealisasikan. Tangis haru berusaha menyeruak dari pelupuk mata, tetapi sebisa mungkin mereka tahan.

"Selamat buat kita," bisik Hana dengan suara bergetar.

Isyana dan Inggita sontak mengangguk lirih seraya mengeratkan pelukannya. Senyum lebar mereka sontak terkulum cerah.

Kelvien dan Duta yang menyaksikan adegan mengharukan tersebut dari kejauahan saling tatap sekilas sebelum akhirnya berjalan gontai mendekati Isyana, Inggita, dan Hana yang belum selesai acara berpelukannya.

Menepuk lembut pundak ketiga teman perempuannya, Kelvien pun berujar, "Bentar lagi mulai, lho."

Duta mengangguk seraya melirik arlogi yang melingkar di pergelangan tangannya sekilas. "Acara terharu-harunya udahan, deh."

All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang