15. Sketchbook

305 74 76
                                    

Matahari mulai kembali ke peraduan. Jingga perlahan mengguratkan warna menggantikan tugas raja siang menguasai langit sore. Seorang gadis berambut sebahu bergeming menyaksikan senja dengan tatapan menerawang jauh. Menunggu adalah kegiatan yang paling membosankan. Ia pun melirik arloji merah jambu yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul setengah enam. Tetapi, belum juga menunjukkan keberadaan seseorang yang ia nantikan.

Ia pun menghela napas lelah.

Semilir angin kembali menampar-nampar wajah gadis berambut sebahu tersebut. Memainkan helaian rambutnya yang dibiarkan tergerai. Ia merapatkan jaket, berusaha mengusir hawa dingin.

"Lama banget, sih,"gerutunya, sebal.

Dari arah sebrang, indra pengelihatannya menangkap sesosok pemuda berkacamata turun dari taksi setelah membayar nominal pecahan sepuluh ribuan tiga lembar. Langkahnya melaju cepat ke arah tempat bimbingan belajar pada posisinya sekarang.

"Aduh. Maaf banget, Hana. Pasti nunggunya lama, ya?" tanya pemuda tersebut didekap perasaan bersalah. Ia mendaratkan tubuh di bangku panjang sebelah gadis berambut sebahu tersebut.

Selayaknya orrang normal lain ketika dipanggil, gadis di sampingnya menoleh. Bibirnya menyerukan pertanyaan, "Iya. Kamu ke mana aja?" selidiknya seraya memutar bola sebal.

"Kamu nggak liat mobilku nggak ada?" jawabnya justru balik melempar pertanyaan.

Hana sontak mencari keberadaan mobil lawan bicaranya. Memang benar tidak ada. Bahkan, ia tadi sempat melihatnya turun dari taksi.

Tidak biasanya Kelvien menggunakan transportasi umum. Di mana-mana, pemuda berkacamata itu selalu menggendarai mobil kesayangannya sebagai hadiah ulang tahun ke 15. Tetapi, hari ini sepertinya ada yang berbeda.

Mungkinkah keabsenan mobil itu menjadi pemicu utama keterlambatan Kelvien menjemputnya di bimbingan belajar?

"Mobil kamu kenapa, Kelv?"

Kelvin mendengus gusar. "Mogok di tengah jalan."

Perasaan bersalah menelusup di benak gadis berambut sebahu tersebut. Tidak seharusnya ia menyalahkan Kelvien atas terlambat menjemputnya. Meskipun mobilnya mogok, pemuda itu tetap berusaha untuk dateng ke tempat bimbelnya. Usahanya patut diapresiasi.

"Kelvien...." Hana mendesah panjang. "Kenapa nggak hubungin aku daritadi kalo mobil kamu mogok. Aku bisa pulang sendirian."

"Andai aku bisa, Han," sahut Kelvien bernada sendu seraya menyadarkan punggung pada tembok. Ia menghela napas berat. "Kamu tau, kan, batrei hapeku bocor. Sering mati tiba-tiba. Padahal, baru aja aku nge-charger 100%, eh dipake bentar udah 30%."

Hana menatap prihatin wajah lelah lawan bicaranya. "Kalo tau gitu, kamu nggak perlu jemput aku dan bela-belain dateng ke sini. Rencananya juga kalo sampe jam enam malem kamu belum sampe, mau langsung kutinggal pulang."

Kelvien memejamkan mata. Mengatur ritme napasnya sejenak. Kemudian, sepasang netra hitam pekat yang terbingkai kacamata itu mengerling gadis di sampingnya. "Lalu, membiarkan kamu pulang begitu aja sendirian? In your dream, Hana."

Pipi Hana tersipu mendengar alasan Kelvien tetap menjemputanya. Perasaannya menghangat. Gadis itu refleks menyeka keringat di dahi Kelvien sesaat setelah meraih selembar tisu dari saku seragam. "Bestfriend nggak akan ninggalin satu sama lain," ucap Hana mengingat janji persahabatan mereka dulu ketika berusia empat tahun.

Kelvien mengulum senyum kecil. "Bestfriend nggak akan ninggalin satu sama lain," ulangnya sungguh-sungguh, sukses membuat hati Hana bak tergores sebilah pisau tajam.

All the Bad ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang